"Luh? Bapak di mana?" Tanyaku pada Iluh, ARTku yang sedang membersihkan sofa di ruang tengah.
"Bapak tadi sih keluar, Bu. Kayanya olah raga lari deh."
Aku mengangguk dan berjalan menuju dapur. Membuat sarapan untukku dan Aro. Tidak lupa membuat susu untukku.
Aku masih istrinya, masih tinggal dengannya. Jadi tentu aku masih harus melakukan kewajibanku untuk mengurusnya walaupun kami sedang bertengkar seperti sekarang.
"Luh, nanti kalau Bapak udah balik. Bilang kopinya di dalam tudung saji ya. Saya mau berenang."
"Oke, Bu." Jawabnya lantang. Aku tertawa. Tidak salah aku meminta Iluh menjadi asisten rumah tanggaku. Aku menculiknya secara paksa dari rumah Papaku. Sebenarnya dia anak dari ART Papa, daripada Papa kebanyakan ART mending aku yang mengajaknya untuk bekerja di sini.
Aku duduk di pinggir kolam renang setelah pemanasan sebentar. Sekedar mencelupkan kakiku sebelum aku betul-betul mulai berenang.
Tiba-tiba, lengan kokoh penuh tato yang sangat familiar di hidupku bergelayut sempurna di tubuhku. Aku menoleh dan mendapati Aro sedang menenggelamkan wajahnya di curuk leherku.
"Aku minta maaf.."
Aku masih diam.
"Aku harap kamu nggak pernah ngomong gitu. Kita berdua cocok untuk jadi suami istri."
"Aro.."
"Aku nggak mau kamu ngira aku nggak peduli, atau lebih jelek, selingkuh sama Rosa. Tapi aku memang bener-bener kerja kemarin, neng."
"Udah di minum kopi kamu?"
Aro mengehela nafasnya. "Aku lagi nggak bahas masalah kopi, aku lagi bahas kita."
Aku menoleh, mendapati wajahnya cukup sayu. Butiran keringat meghiasi wajah kerasnya, rambutnya cukup basah. "Kalau aku minta kamu untuk pulang tepat waktu selama seminggu kedepan, antar jemput aku kaya biasanya sebelum kita kaya gini sekarang. Kamu bisa?"
"Aku bakalan coba.."
"Aku nggak mau kamu untuk coba, tapi kamu lakuin. Se-hectic apapaun restoran perlu kamu, Whindama perlu kamu, ketika kamu udah janji mau pulang, kamu pulang. Bisa?"
Aro mengangguk pelan. "Aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu. Aku nggak mau kita bertengkar kaya kemarin lagi, sampai pisah kamar."
"Ya kamu yang mulai." Balasku. Dia tersenyum kecil sembari menggelengkan kepalanya.
"Juwita, juwita.."
"Apa?"
"Syukur aku cinta sama kamu, neng." Aku berdecak mendengar jawabannya.
"Awas, aku mau berenang." Aku menyingkirkan lengannya dan pelan-pelan turun ke kolam. "Jangan ikut. Mandi sana, minum kopi kamu. Keburu dingin banget nanti." Ujarku sembari membalikkan tubuhku menghadapnya.
"Sini dulu." Ujarnya sambil berjongkok di pinggir kolam. Membuatku menengadah.
Dia mencium bibirku lembut. Aku, seperti biasa, tersihir. "Udah sana, ah." Hentakku. Aro hanya tertawa sembari bangun dan menghilang dari balik pintu teras.