3 Tahun Kemudian...
"How are you?" Tanyaku pada Aro.
Hari ini sebenarnya ulang tahunku. Aku sudah mewanti wanti teman-temanku untuk tidak usah repot mengadakan surprise. Bukannya tidak suka, tapi aku merasa surprise party, surprise dinner ataupun surprise-surprise lainnya sudah tidak penting lagi. Aku sudah berumur demi Tuhan.
Cukup makan siang bersama bersama keluarga terdekatku aku sudah cukup bahagia. Seperti sekarang, Aro adalah keluarga terdekatku.
Kami sedang duduk menikmati makan siang kami di Mie Ayam Pelangi. Tempat kami biasa merayakan ketika salah satu dari kami berulang tahun. Kata Aro, baiknya setiap ulang tahun kita makan mie ayam, biar panjang umur. Aku hanya tertawa kecil sambil menggangguk.
"Baik. Kamu?"
Aro menyeruput teh manisnya sambil mengangguk kecil. "Baik. Gimana kerjaan?"
Yap. Keputusan untuk kami memilih berpisah memang tepat. Bercerai lebih tepatnya.
Kondisi kami yang semakin hari semakin parah. Pertengkaran tiada akhir dan tanpa solusi membuat kami memutuskan untuk bercerai ketika Jelita baru menginjak usia 2,5 tahun.
Sedih memang. Tapi di satu sisi kami merasa menjadi pribadi yang lebih baik. Betul kata orang, berpisah membuat kami semakin dekat.
"Aman. Gini-gini aja, masih sibuk keliling buat sales call. Mau ikut sales trip tapi males banget ninggalin Tita. Jadi atasan nggak bikin kita leyeh-leyeh di belakang komputer ya." Kekehku. "Jelita kemarin tanya kamu, Papa nggak kerumah?"
Aro tertawa. "Iya, nanti aku kerumah." Ujarnya. "Kangen aku sama kalian."
Aku balas tertawa. "Makanya, main kerumah. Jangan di Melbourne melulu, lama-lama lupa punya anak di Bali."
Aro mendengus.
Bercerai membuat kami bebas menjelajahi dunia. Menantang diri sendiri, tapi tentu tidak lupa pada putri kecil kami.
Aro sadar dia ingin maju. Seperti teman-teman seperjuangannya. Mengarungi dunia, bertemu teman baru, memulai petualangan lain. Bahkan sekarang, dia sudah memiliki restorannya sendiri di Melbourne. Hasil kerja kerasnya selama ini bekerja pada orang. Aku dan Jelita turut hadir di acara pembukaan restorannya. Begitu juga dengan sahabat-sahabat kami. The J&J. Juwita dan Jelita katanya. Begitu nama restoran yang sudah berdiri lebih dari 2 tahun itu.
"Deli nggak ikut ke Bali?" Tanyaku pelan.
Deli itu adalah tunangan Aro. Bule Australia, cantik tentu saja. Rambut coklat keemasan. Mereka sedang merencanakan pernikahan dalam waktu dekat ini.
Cemburu? Tidak sama sekali. Awalnya mungkin kesal, tapi aku ikut gembira mengetahui Aro sudah memiliki pasangan lagi. Sungguh.
Aku akhirnya mempersilahkan Aro mengenalkan Jelita kepada Deli secara langsung. Reaksi putri kami? Gembira. Kata Jelita, bisa dapat banyak hadiah ulang tahun karena ada banyak orang tua yang sayang padanya.
Tante Hanna, mantan ibu mertuaku awalnya kesal karena Aro memilih bule ketimbang kembali rujuk denganku. Tapi aku mengatakan pelan-pelan, kalau kami lebih cocok berteman daripada menikah.
"Mau ngelihat kami bertengkar lagi di depan Jelita, Bu?" Tanyaku pada beliau. Gelengan keras menjadi jawaban Tante Hanna. "Lebih baik sahabatan kan?" Ujarku kala itu.
Akhirnya, beliau menyerah dan membebaskan Aro dan aku untuk tetap pada keputusan kami untuk berpisah. Yah, walaupun terkadang ketika aku sedang makan siang bersama beliau, beliau selalu membahas rujuk.
"Dia nyusul, masih harus meeting dengan manajemen The J&J. Lusa dia kemari." Jawabnya. "Have you met someone new?" Tanya Aro. Seperti biasa, tanpa basa basi.
Aku tertawa. "Belum ada yang pas dan ngerti keras kepalanya aku."
"Ha-ha. Cuma aku doang ya." Kekehnya. Aku mengangguk.
**
Aku sedang menjemput Jelita dari sekolahnya. Putriku sudah berumur hampir 7 tahun sekarang. Cepat sekali waktu berlalu. Sudah keputusan aku dan Aro untuk mengenalkan Jelita pada pendidikan sedini mungkin, membiasakan dia untuk bertemu dengan banyak orang. Mengenalkan dunia padanya. Dulu, walaupaun hanya kelas playgroup yang aku tau, 80% isi kelasnya adalah bermain, aku tetap mendaftarkannya. Tapi aku dan Aro mengerti, di setiap kelas bermain, pasti ada saja sesuatu hal yang baru untuk Jelita.
"Tita." Panggilku.
"Mama!" Serunya. Dia berjalan cepat, tapi di ikuti oleh gadis kecil lainnya. "Ini Vanya. Temen sekelas Tita."
"Halo, Vanya." Sapaku. Vanya menyalim tanganku. "Lagi nunggu jemputan?"
Vanya mengangguk.
"Dia dari tadi nunggu jemputan, Ma. Dari pulang sekolah." Jelas Jelita.
Aku terkaget, kelas Jelita pulang pukul 11 siang dan ini sudah pukul 3 sore. Jelita pulang sore karena ikut aktivitas pulang sekolah, berenang. Sedangkan Vanya?
"Lho mama sama papa kamu nggak ada yang datang sama sekali?" Tanyaku.
"Ayah lupa jemput Nyanya kayaknya, Tante. Jadi Nyanya liatin Tita berenang dari tadi."
Ya ampun.
"Ya udah, kita tunggu sama-sama atau Vanya mau Tante antar pulang?"
Vanya berpikir sebentar. "Tapi Nyanya nggak ingat jalan pulang."
Ya wajar. Anak usia 7 tahun mana ingat jelas jalan dari dan menuju pulang. "Ya udah kita tunggu Ayah kamu aja ya. Sudah makan belum?"
Vanya menggeleng. Astaga!
"Dari tadi?"
Vanya mengangguk. "Tapi tadi dikasi bekal punya Tita sedikit sih."
"Ya udah, ayo ke kantin cari makan. Kasian kamu."
Aku langsung mengambil peralatan berenang Jelita dan membiarkan mereka berjalan bersama menuju kantin sekolah.
Hingga suara laki-laki memanggil nama Vanya.
"Dek?" Kami menoleh.
Pria ini berlari menuju ke arah kami. "Ayah lupa kalau kamu nggak ada kelas tari hari ini. Maaf ya."
"Ayah nih. Aku laper tau." Ujar Vanya.
Aku dan Jelita berdiri memandang laki-laki satu ini. Bisa-bisanya dia lupa putrinya pulang jam berapa hari ini. "Syukur ada Tita." Lanjut gadis kecil ini.
"Iya, maaf." Ujar si pria ini. "Makasi ya. Saya Damar, ayahnya Vanya." Padaku.
Aku tersenyum. "Saya Juwita. Ibunya Tita."
"Saya mau makan sama Vanya. Tita pasti lapar juga, sekalian aja mau?" Tanya Damar.
Well. Kenapa nggak? Kami berdua juga berencana makan siang setelah ini.
"Tita mau?" Tanyaku pada Jelita. Putriku mengangguk. "Ayo." Ajakku.
"Ayo." Balasnya
End
Eh dah end aja mereka..
Tapi jangan sedeihhh, ada extra part kok.Maafkan aku yang membuat ceritanya jadi sad ending menurut kalian ya.. 🥺🥺
Sekian dulu.
Love,
Utami 🦄
