"Cari Om Damar sana." Ujarku pada Jelita.
Jelita mengangguk dan langsung berlari menuju arah belakang rumah. Aku sedang sibuk dengan laporan yang harus selesai minggu ini. Bisa-bisanya aku membawa pekerjaan pulang kerumah. Di rumah seharusnya aku bersantai, bukan bekerja.
"Om Damar, Nyanya mana?" Aku mendengar Jelita sedikit berteriak pada Damar.
Aku tidak terlalu mendengarkan percakapan mereka lagi.
Aku dan Damar sedang menjalin hubungan saat ini. Hehe. Sudah hampir 8 bulan sepertinya. Damar juga sudah bertemu dengan Aro.
Mereka berkenalan, Aro menanyakan latar belakangnya, memastikan dia bisa bersikap terhadap anak kecil, terutama Jelita. Awalnya m Aro tidak tau kalau Damar adalah seorang duda beranak satu. Aro terkejut ketika Damar menjelaskan kalau dia sudah bercerai dan memiliki satu orang putri. Seangkatan kata Aro padaku.
Damar ini pemilik salon mobil yang cukup besar di Denpasar. Nasibnya sama sepertiku, bercerai. Tapi perceraian mereka tidak berakhir dengan baik. Mantan istrinya pergi dengan pria lain dan membawa lari uang bisnis mereka. Damar tentu saja menuntut hak asuh anak, dan mantan istrinya menuntut harta.
Tapi Dewi Fortuna berpihak pada Damar, hak asuh Vanya Damar dapatkan dan tidak ada pembagian harta untuk mantan istrinya. Tapi apa daya, beberapa uang bisnis mereka sudah dibawa pergi. Usaha Damar hampir bangkrut, tapi pelan-pelan kembali bangkit dan hingga saat ini, bisnisnya cukup terkenal di kalangan anak muda bermobil.
Damar marah, tapi tetap bersyukur bukan Vanya yang di bawa lari.
"Sayang." Panggil Damar.
Aku menoleh dan tersenyum. "Kenapa?"
"Tita laper, kamu suruh cari aku. Ada-ada aja." Kata Damar. "Aku kan bukan Aro." Gerutunya.
Aku tertawa, tentu saja. Damar bukan bersikap sarkas tapi dia adalah tipe orang yang sungguh jujur. Apa yang dia pikirkan, langsung dikatakan.
"Iya aku nggak tau harus bilang apa, biar Tita nggak ganggu aku buat report, sayang." Jawabku sambil meletakkan kacamata bacaku. Aku langsung menuju dapur dan melihat apa yang bisa ku masak.
"Tita dateng dateng ke arahku bilang 'Om Tita laper, di suruh cari Om sm Mama' terus aku bingung dong."
Aku tertawa, "Gitu aja bingung. Kalau Vanya lari ke arah kamu dan bilang dia laper, kamu gimana?"
"Aku pesenin makanan sih."
"Ya udah, lakuin hal yang sama dong, sayang."
Damar mengendikkan bahu, memilih duduk di kursi pantry.
Pernah menjalin hubungan cukup lama dengan seorang chef tidak langsung membuatmu bisa memasak seperti mereka. Seperti aku misalnya, masih belum bisa memasak makanan mudah seperti sayur sop. Karena aku terbiasa Aro memasaki ku dan ketika dia tidak ada, aku terbiasa membeli.
"Adanya cuma telur doang sama apaan nih yang buat bahannya martabak itu." Entahlah aku lupa nama sayuran yang aku pegang ini. Yang jelas bukan seledri.
"Ya udah, go-food lagi." Kata Damar. "Kamu harusnya bisa hemat, jangan dikit-dikit go-food atau delivery deh. Kasian duit delivery-nya tau."
"Kan kamu tau, aku pasti jarang masak. Jadinya ya udah delivery." Ujarku sambil membuka aplikasi yang sedang hit ini. Memilih makanan yang kurasa cocok untuk anak-anak juga.
Jelita dan Vanya sedang bermain di taman sementara Damar duduk di sampingku membaca laporan keuangannya sendiri. "Wi, kita udah 8 bulan kan ya?" Tanya Damar tiba-tiba.
