20

24.8K 3.4K 262
                                    

Aku tetap menyiapkan sarapan pagi untuk kami semua. Aro masih duduk di depanku, seolah-olah perkataanku semalam bukanlah apa-apa. Aku juga tidak terlalu memiliki keberanian untuk mengonfrontasinya.

"Kopi kamu udah anget, aku naik dulu." Ucapku. Aro hanya mengangguk.

Aku langsung menuju kamar bayi kami. Mengurus Jelita yang baru saja selesai aku susui sebelum aku turun dan menyiapkan sarapan.

"Mama tidur di sini dulu ya untuk sementara, biar makin deket sama Ita." Ujarku sambil menimang-nimang putriku.

Aku menoleh ketika mendengar suara pintu di ketuk. Iluh langsung menyembulkan kepalanya, "Bu, bapak mau berangkat ke hotel katanya ya."

Aku mengangguk, tidak terlalu peduli dengan perkataan Iluh.

Aku kesal. Aku marah padanya. Untuk apa menyembunyikan sesuatu dariku? Aku kira kami sudah di tahap tidak perlu menyembunyikan apapun. Lima tahun bersama, tidak pernah sekalipun Aro menyembunyikan apapun dariku. Yah, mungkin ada beberapa, tapi sampai membuatku kesal dan mengganggu seperti ini adalah yang pertama.

"Wi."

Aku menoleh, mendapati Aro berdiri di ambang pintu, melipat tangannya di dada, menyilangkan kakiknya. Tubuh tegap, menggunakan sweater abu-abu lengan tergulung hingga siku, dan celana jins panjang.

"Hm?"

"Ayo bahas kita."

Aku menghela nafasku, mencium kening Jelita dan meletakkannya kembali di boks bayi. "Mama balik bentar lagi ya sayang." Ujarku pada Jelita. Bayi mungilku hanya tertawa riang.

"Ayo." Ajakku pada Aro. Dia menutup pintu kamar Jelita dan mengekoriku menuju kamar tidur kami di lantai bawah.

"About last night.."

"Kemarin malam itu.."

Kami mengucap kalimat bersamaan. "Kamu duluan." Ujarku.

Giliran dia yang menghela nafas dan berjalan mendekat ke arahku, kemudian memelukku erat. Tanganku masih diam di samping tubuhku, tidak menuruti hati untuk membalas pelukannya.

"Aku minta maaf." Ujarnya, melepas pelukan eratnya dan meletakkan tangannya di pinggangku.

"Kamu tau, kenapa aku bilang kaya gitu semalam?" Tanyaku. "Aku nggak peduli kamu mau ke Moza, mau ke restoran lain, mau bisnis ini, bisnis itu, itu hak kamu. Aku mendukung sepenuhnya, aku selalu ngedukung kamu walau konsekuensi untuk nggak pernah lihat kamu di rumah itu ada dan besar. Tapi.."

"Juwita.."

"Jangan potong aku." Aku menatapnya tajam. Dia kembali diam dan menatapku. "Jangan pernah sembunyiin apapun dari aku." Ucapku lirih.

"Aku nggak.."

"Kamu memang nggak bilang apapun soal lembur, entah itu event atau apalah di Whindama atau di Twelve Roses. Karena memang kalau kamu lembur, kamu pasti kerja di salah satu tempat itu. Tapi kemarin, begitu Dimas bilang dia lihat kamu di Moza bareng perempuan rambut coklat merah, aku jadi.."

"Jangan berlebihan." Potongnya.

"Gimana nggak berlebihan? Ini yang kedua kali, Ro! Pertama kamu bilang pimpin service di Twelve Roses, kamu malah duduk sambil ngewine sama maitre d kamu, sekarang.."

"Aku meeting mau buka cabang baru, dia salah satu investor. Tio juga ada di sana, Dimas lihat cuma sekilas dan kamu lebih dengerin Dimas?"

End Of The RoadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang