23

16.5K 2.8K 180
                                    

"What did I do?" Bisikku entah pada siapa.

Aku kembali termenung sendirian di kamar tidurku dan Aro. Sudah dua minggu belakangan kami tidur terpisah.

Dia tetap disini, sementara aku di kamar bayi kami.

Sintha benar. Aku mendiamkan masalah terlalu lama. Bertengkar tapi tidak ada penyelesaian. Saling mendiamkan dan tidak menuntaskan. Membuat diriku siap-siap meletus seperti gunung berapi.

Seharusnya aku mengkonfrontasi Aro, bukannya mendiamkan. Seharusnya aku mengatakan unek-unekku sejak awal. Seharusnya aku mengajaknya duduk dan membicarakan masalah kami. Seharusnya aku yang memulai untuk menyelesaikan perdebatan yang tidak ada habisnya.

Seharusnya..

Tapi aku malah mendiamkan. Tidak menyelesaikan. Berharap semua selesai dengan sendirinya.

Mungkin mereka semua benar. Kami belum siap untuk terikat lebih lanjut. Kami masih ingin bersama tapi tidak ingin terikat.

Mungkin.

Aku menyesali. Entah apa yang aku sesali. Mungkin menikahinya? Mungkin hidup bersamanya? Yang jelas Jelita tidak pernah ada dalam penyesalanku. Justru bayi mungil itu yang menguatkanku.

Aku menghela nafas kuat-kuat dan bangkit dari ranjang ini. Ranjang yang seharusnya menjadi tempat kami berkeluh kesah sehabis kerja rodi di kantor, ranjang yang menjadi tempat bergulat kami, bercinta, bercanda, tertawa.

Aku menggeleng menghilangkan rasa sakit di dadaku. Mengambil ponsel dan sangat ingin membalas pesan Aro. Tapi ku urungkan niatku. Kembali aku meletakkan ponselku.

Hari sudah malam, aku sudah cukup lelah berteriak dan menangis. Lebih baik aku tidur.

**

"Jadi? Dia pergi gitu aja? Nggak bilang apapun gitu?" Tanya Sintha.

"He texted me." Jawabku.

Aku tidak tau harus mengeluarkan unek-unekku ke siapa selain Sintha. Aku bahkan tidak cerita apapun ke Ibu mertuaku ketika aku menitipkan Jelita di rumah beliau. Beliau hanya bertanya Aro kemana? Aku hanya menjawab bekeja. Kemudian pamit dan langsung menuju rumah Sintha.

Bukannya aku tidak sayang dengan bayiku dan menitipkannya pada mertuaku. Aku perlu waktu.

"Lo baby blues." Ucap Sintha pelan.

Aku tau itu apa. Tapi sepertinya sindrom itu tidak menyerangku.

Aku tidak cemas, aku tidak sedih, aku tidak stress, aku sangat bahagia dan menikmati menjadi ibu. Aku hanya sedikit kehilangan suamiku.

Mas Aro Ganteng Calling..

Aku menghembuskan nafasku pelan. Sedikit gugup karena namanya muncul.

"Hallo."

"Kamu titip Ita di rumah Ibu?" Tanya Aro.

"Iya, aku pergi sebentar. Aku nggak mau Ita cuma sama Iluh di rumah."

"Kamu kan bisa telpon aku." Ucapnya sedikit membentak.

Kenapa aku berpikir bahwa apapun yang aku lakukan akhir-akhir ini selalu salah di mata Aro. Aku bahkan bisa mendengar nada menyalahkan di kalimat barusan.

"Kamu lupa? Kamu kan perlu waktu. Jadi aku kasih kamu waktu dengan nggak ganggu kamu." Aku membalas ucapannya dan langsung menutup percakapan kami.

Percakapan tidak guna.

Yang ada pasti kami semakin bertengkar.

Aku memilih melanjutkan acara belanjaku bersama Sintha. Seharusnya aku melakukan ini dengan Aro. Karena aku sedang berbelanja kebutuhan rumah tangga dan keperluan Jelita.

End Of The RoadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang