"Mau bahas aku sama Rosa lagi? Nggak ada topik lain?" Suara Aro mendingin.
Kami sedang di publik area, memperlihatkan kalau kami sedang bertengkar adalah hal yang bisa menarik perhatian banyak orang.
"Nggak. Aku nggak mau bahas kamu sama Rosa lagi." Ujarku.
"Terus? Mau di diemin lagi? Yang ada kita nggak berhenti bertengkar, Wi."
Aku langsung mendelik. "Siapa yang ngediemin masalah? Aku?"
"Siapa lagi? Kita bertengkar hebat, besoknya kamu udah bersikap biasa kayak kemarin itu bukan apa-apa. Aku mau bahas.."
"Jangan pernah bilang aku yang kayak gitu."
Aro sedikit berbisik, "Wi, kita lagi di publik area."
"See? It's not me. It's you."
"Aku kenyang." Ucapnya dingin.
Aku mendengus kemudian sedikit melempar sendok dan garpuku. Mengalihkan pandanganku ke arah bayi mungil kami.
"Ayo pulang." Ujarnya dingin. Aro langsung berdiri dan menggeret koper mininya.
Aku menggeleng kepalaku, ingin berteriak dan menangis di hadapannya. Sambil menghembuskan nafas, aku mendorong stroller Jelita, mengimbangi langkah lebar Aro,
Gede sudah menunggu kami di drop and pick up zone, dengan cekatan dia membantuku mengangkat stroller Jelita. Aro memilih duduk di depan disamping Gede, sementara aku di belakang.
Kami diam sepanjang perjalanan. Hanya suara rengekan kecil Jelita yang terdengar.
Begitu sampai di rumah, Aro langsung masuk ke dalam kamar sementara aku masuk dan mengurus Jelita. Selesai itu, aku memilih duduk di taman belakang sembari melihat pekerjaanku di laptop. Beberapa handover yang aku buat sudah selesai, video confrence juga sudah selesai. Kini tinggal..
"Jadi kamu berangkat?" Tanya Aro.
Yap. Keberangkatanku.
"Mau nggak mau, Mas. Tiket dan semuanya udah beres."
"Let it go. Jangan berangkat, bilang sama Pak Rivo aku nggak ngasi ijin. Kenapa sih kok rasanya susah banget buat nurutin yang aku minta?"
Aku menghela nafasku pelan dan berjalan mendekat ke arah suamiku. "Sayang, aku masuk ke tempat kerjaku dalam keadaan baik, aku juga harus keluar dalam keadaan baik kan?"
Aro mendekapku. "Pak Rivo nugasin ini untuk aku buat terakhir kalinya. Hitung-hitung say good bye sama kolega di Chicago katanya. Jadi aku harus berangkat. Bukan harus, mau nggak mau." Lanjutku dalam dekapannya. "Please, ngertiin ini. Begitu aku balik, aku udah jadi ibu rumah tangga seutuhnya."
Aro melepas depakannya. Menatapku sendu, sambil menangkup pipiku. "Promise?"
Aku mengangguk yakin. "Promise." Balasku.
"Seiring dengan karir yang semakin tinggi, semakin susah kita punya waktu untuk keluarga, Neng." Ucapnya pelan.
"Aku tau.." Jawabku. "Makanya, aku mau biarin kamu yang ngembangin karir kamu dan aku yang ngubur karir aku.."
