16

30.2K 3.6K 317
                                    

"Kok Ibu di tinggal, Ta?" Tante Hanah membuyarkan lamunanku.

Aku sudah duduk di kursi penumpang sedari tadi sambil menunggu Gede yang membantuku membawakan hasil belanjaan kami untuk di bawa pulang.

Seharusnya itu pekerjaan Aro, bukan Gede. Gede bahkan hanya sopir kami.

"Maaf ya, Bu. Ita capek berdiri, mau langsung pulang aja, nggak apa-apa kan?"

Beliau mengelus rambutku kemudian mengangguk. "Aro memang gitu kalau udah ketemu sama sesuatu yang dia suka, yang dia cinta."

Aku hanya tersenyum kecil kemudian kembali membuang pandanganku ke luar.

"Udah semua ya, Bu? Jalan sekarang?" Tanya Gede padaku.

"Iya udah. Langsung pulang ya, De."

"Baik Bu." Jawab Gede.

Kami berkendara kembali menuju Canggu, menuju rumahku. Tapi pikiranku mengatakan lain. "Bu, kita mampir ke tempat Aro boleh?"

Tante Hanah menatapku. "Yakin?"

"Iya yakin. Kasihan kerja seharian terus sekarang malah Ita kacangin. Nanti bertengkarnya makin lama."

"Ya udah."

Aku tersenyum dan langsung meminta Gede untuk mampir sebentar di Twelve Roses. Hari sudah sore. Sekalian saja kami makan malam bersama di sana. Ya kalau Aro mengijinkan, kalau tidak ya sudah.

Terlihat motot besar kesayangan Aro terparkir rapi, dan ada helmnya yang dia letakkan begitu saja di atas jok motornya, di parkiran staf ketika aku masuk melalui pintu belakang. Kebiasaan. Kalau helm itu hilang, bisa tiga hari tiga malam dia mencaci maki semua orang.

"Sore Bu Juwi." Sapa salah satu cooks yang sedang istirahat.

"Sore. Chef ada?"

"Ada Bu, di ruangannya sama maître d. Lagi wine pairing kalau nggak salah deh." Aku mengangguk dan tersenyum kemudian mengucapkan terimakasih.

Suasana belakang Twelve Roses sungguh ribut. Mungkin untuk persiapan makan malam. Jadi wajar saja.

Aku membiarkan Tante Hanah untuk menunggu di dining room, karena beberapa staf juga sudah mengenal beliau, sementara Gede di warung dekat parkiran, sambil merokok katanya.

"Itu Bu ruangan Chef. Yang dindingnya kaca burem-burem itu. Masuk aja, nggak di kunci sih kayanya." Aku menoleh ke arah suara. Ternyata staf lainnya.

Aku sudah mengetuk pintu ruangannya tapi tidak ada tanggapan sama sekali. Aku membuka pintu sepelan mungkin, kalau-kalau ternyata Aro sedang ada pertemuan penting dan aku yang membuka pintu dengan kencang akan membuat semuanya runyam.

Tapi ternyata aku salah. Bukan pertemuan penting yang aku lihat.

Aro sedang duduk di kursi meja kerjanya sementara perempuan bertubuh sempurna duduk di atas meja, tertawa. Dengan gelas wine di tangan mereka masing-masing.

"Aku ganggu nggak?" Tanyaku.

Aro menoleh dan tersenyum kemudian bangkit dan berjalan menuju arahku. Seakan-akan tidak ada masalah di sini. "Hei, sini deh. Kenalin, maître d Twelve Roses, namanya Rosa."

Kebetulan yang sangat pas.

"Oh, Rosa? Cocok sama nama restorannya ya." Ujarku.

Rosa tersenyum, meletakkan gelas winenya. "Halo, Bu Juwita, saya Rosa."

"Iya." Jawabku, cukup ketus. "Aku kira kamu sibuk betulan, eh malah ketawa santai sambil nge-wine di sini. Heran."

Aro menatapku, kemudian melirik Rosa. Rosa mengangguk dan langsung pamit keluar, alasannya dinner service mau di mulai.

End Of The RoadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang