"Masih bertengkar juga lo?" Tanya Sintha.
Kami sedang berada di Warung Kecil di daerah Sanur untuk makan siang bersama. Kami baru saja mengantar Ale ke bandara untuk terbang ke Jakarta selama dua hari bersama Lucas dan Aro untuk bisnis bersama mereka.
"Iya. Sampai bosan gue kacang-kacangan terus."
"Sebenarnya masalahnya dimana sih?" Tanya Sintha lagi.
Aku hanya bisa mengendikan bahuku sembari berkonsentrasi dengan laptopku. Aku harus menyelesaikan hand over ini sebelum aku kembali masuk kerja.
"Dua minggu lagi lo masuk kerja lagi kan? Kangen nggak?"
Aku mendongak. "Iya. Kangen sih, tapi gue udah komit mau berhenti."
"Bagus tuh, komitmen sama apa yang lo bilang, biar nggak berantem mulu sama laki lo. Nggak enak tau." Ujar Sintha.
"Yang bilang enak siapa? Yang mau bertengkar terus siapa?" Sungutku. Sahabat baikku malah tertawa.
Aku dan Aro saat ini sedang dalam posisi bertengkar hebat karena keberangkatan Aro ke Jakarta. Sebenarnya aku tidak masalah dia berangkat ke Jakarta, toh ada Ale dan Lucas. Yang menjadi masalah adalah, Rosa turut serta di sana.
Aro lupa bilang kalau dia harus ke Jakarta. Aku juga tau dari Lucas kalau Rosa akan ikut mendampingi mereka karena Rosa adalah wine tester terbaik mereka. Pertengkaran kami kemarin adalah yang terhebat sampai membuatku menangis.
"Tapi lo tetap antar dia ke airport kan? Itu bukti kalau lo cinta mati sama dia." Ujar Sintha.
"Sekarang balik posisinya, gue lupa bilang kalau bos gue minta gue berangkat ke Chicago selama dua minggu untuk annual meeting sama corporate di sana dan gue berangkat sama mantan gue. Menurut lo apa reaksinya?"
Sintha menghela nafasnya, "Kalian berdua itu pasangan paling egois sekaligus paling nggak egois yang pernah gue lihat tau nggak."
Aku menaikkan alisku heran.
"Lo membalas perlakuan Aro dengan hal yang sama. Mau sampai kapan? Sampai kalian bosan terus ada kata pisah?" Tanya Sintha.
"Dia ketemu Rosa, lo ketemu Dimas. Dia lupa bilang mau ke Jakarta, lo mau pura-pula lupa bilang ke dia kalau lo mau berangkat ke Chicago. Besok apa lagi?"
"Cerai gue lama-lama." Bisikku.
Sintha mengangguk pelan. Aku hanya bisa menghela nafasku.
"Kalian udah tau diri kalian masing-masing, come on, lima tahun lo sama dia, tiga tahun tinggal bareng. Ibaratnya lo udah tau dia luar dalam, begitu juga sebaliknya."
Aku hanya mengangguk kemudian tersenyum kecil.
"Telepon suami lo. Mereka udah sampai di Jakarta dari 30 menit yang lalu." Ujar Sintha sembari menyiup minumannya.
Aku menurutinya. Mematikan laptopku dan langsung mendial nomornya. Nomor yang aku hapal di luar kepalaku.
"Halo." Suara beratnya membuatku merinding. Bahkan setelah sekian lama kami bersama, bahkan ketika kami bertengkar hebat seperti sekarang.