10

30.1K 2.8K 52
                                    

Aku masih berdiri bersama Aro dan ngobrol ringan dengan Pak Rivo ketika Aro mampir setelah memimpin dapur kali ini.

Pak Rivo ternyata memberikan tawaran kepada Aro untuk membuka restoran sendiri. Mereka kenal cukup lama, ketika Aro masih menjadi line cook di hotel lama Pak Rivo bekerja.

"Masih mau di bicarin dulu lah, Pak, sama istri. Waktu juga agak susah nih sekarang." Jawabnya sambil tertawa.

"Lumayan buat investasi, Ro. Udah tiga bulan lho tawarannya ini. Masih juga berlaku. Kurang baik apa coba saya?" Kekeh beliau.

"Betul. Tapi kalau saya ambil kerjaan lagi, kasian istri saya nanti ngira sama maduin dia." Aro dan Pak Rivo tertawa. Sementara aku hanya tersenyum bodoh.

Begitu selesai, aku langsung kembali masuk ke dalam mobil. Malas menunggu Aro yang sedang briefing, belum lagi dia berganti baju.

Pikiranku sudah bercabang. Kenapa Aro tidak memberitahuku untuk tawaran untuk membuka restorannya sendiri?

"Hei." Aro masuk ke dalam mobil sembari membawa kotak makanan. Mungkin beberapa sisa makanan yang tidak pernah mau mereka buang.

"Kenapa nggak bilang kalau kamu kenal sama Pak Rivo?"

"Aku juga nggak tau kalau Pak Rivo bos besar kamu di Moza." Aku mendengus mendengar jawabannya. "Suer. Aku nggak tau kalau Pak Rivo megang Moza. Terakhir aku ketemu dia waktu dia main ke Whindama, untuk lunch bareng sama Pak Marcell. Itupun aku kira cuma bercanda waktu dia nawarin buka restoran itu."

"Waktu kamu ketemu, kamu nggak tanya dia kerja dimana?"

"Enggak. Buat apa?"

"Ya apa kek, basa basi kek."

"Enggak penting."

"Terus kamu yang di ajak buka restoran bareng itu nggak penting?"

"Juwita, aku belum mau buka restoran sendiri. Aku masih suka kerja sama orang, masih suka sekedar bantu-bantu. Kaya sekarang ini, bantu Ale."

"Tapi, Ro.."

"Kalau iya aku jadi buka restoran, yang ada kita makin jarang ketemu. Aku harus bagi waktu lebih ekstra dan aku tau kamu nggak akan mau hal itu kejadian. Aku bisa aja berhenti di salah satu tempat, tapi ngurus restoran itu nggak gampang."

Dia ada benarnya. Saat ini saja kami sudah jarang bertemu. Ketemu hanya saat akhir pekan. Ya kalau dia tidak sedang di panggil untuk memimpin service di Ubud atau di Whindama, kalau ternyata akhir pekan dia di minta untuk bekerja, yang ada aku sama sekali tidak pernah bertemu dengannya.

"Nggak usah di pikirin. Uang aku masih ngalir deras kok." Kekehnya.

"Bukan masalah uang, ck." Decakku. "Tapi masalah experience."

"Neng, experience aku jadi tukang masak udah banyak. Buat restoran itu mimpi aku, tapi jelas bukan sekarang. Oke? Nggak usah di bahas lagi."

Aku memilih menurut ketika dia berkata dengan nada cukup serius.

**

"Makin gendut aja lo." Ujar Sintha sambil memelukku.

"Helo, gue lagi hamil ya. Sialan lo."

Kami berdua tertawa. Aro bersedia mengantarku untuk mampir ke rumah Ale dan Sintha sementara dia dan Ale akan pergi ke Ubud untuk mengurusi Moon Lite Ubud.

"Gimana? Enak?"

"Maksud lo?"

"Having sex while you pregnant. Enak?"

End Of The RoadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang