Chapter 22 : Maaf

3.8K 346 14
                                    

Hallow's PoV

Jam 2 pagi.

Aku berlari masuk ke dalam istana. Melempar mahkota dan jubah kerajaanku secara sembarang. Hella dan Colla terkejut dengan sikapku dan tanpa basa-basi segera memungut mahkota dan jubahku. Selain Hella dan Colla, pelayan lainnya yang juga ikut menyambut kedatanganku, menatapku bingung.

Diriku berlari kencang hingga sampai di pintu kamarku. Aku melihat Mocca masih tertidur nyenyak di atas kasurku. Kakiku kembali berjalan masuk. Menghampiri Mocca dan mengelus kepalanya. Air mataku terus berjatuhan sejak tadi aku masuk ke dalam istana hingga tanganku tak mampu lagi menyentuh Mocca. Tanganku mencengkeram seprai kasur.

Apa ini jalan yang terbaik? Kenapa Tuhan merancang semua ini begitu rumit? Dan kenapa, aku benar-benar bodoh??

"Maafkan aku, Mocca. Maafkan aku."

Aku terduduk di lantai dengan air mata yang tak henti-hentinya berproduksi. Kedua tanganku mengepal. Memukul lantai sampai kedua tanganku memerah.

Kenapa aku menyesal? Apa aku sudah bodoh mengambil keputusan yang salah? Jadi, apa lagi yang harus aku lakukan? Jika aku ceritakan, apa dia akan membenciku? Apa dia tidak akan mau menikahi orang keji sepertiku? Haruskah aku mati saja?

Keadaan kamar menjadi ruwet karena diriku, tidak, ini akibat sihirku yang bergejolak. Buku-buku berjatuhan dari tempat. Tirai jendela bergerak terbuka dan tertutup. Lampu gantung di atas bergoyang-goyang dan ada beberapa lampu yang pecah. Meja serta kursi yang ada di sini melayang bebas dan bergeser ke mana-mana.

Mocca tidak akan mengampuniku. Dia akan meninggalkanku. Itu memang pantas aku dapatkan, karena aku sudah mengambil keputusan yang gila. Aku jahat. Benar-benar jahat.

Aku melihat Mocca menggeliat di atas kasur. Tubuhnya bangun dan membuka mata. Pupil mata itu melihatku terduduk putus asa di bawahnya. Di tambah lagi, dia kebingungan melihat seluruh keadaan kamar menjadi berantakkan seperti baru saja diporak-porandakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab.

Dia beranjak cepat dari kasur. Menghampiriku dan memegang sebelah pundakku.

"Hallow, apa yang terjadi? Kenapa kau terduduk menangis di sini?" tanya Mocca mencari tahu alasanku bersikap tak biasanya.

Aku diam tak menjawab pertanyaannya. Mataku menolak untuk menatapnya, meskipun sebenarnya aku ingin melihat mata nilanya yang terlihat seperti langit malam itu. Ini salahku sendiri, jadi aku tak akan menyalahkan siapapun.

"Hallow, sihirmu tidak kau kendalikan? Semua menjadi berantakkan. Hentikan ini, Hallow. Kalau kau ada masalah, ceritakan saja padaku. Tenanglah, ada aku di sini," kata Mocca berusaha menenangkanku.

Aku mencengkeram piama putihnya. Air mataku jatuh membasahi piamanya. Piama berdesain gaun panjang semata kaki untuk perempuan yang dibuatkan oleh Colla. Mocca terlihat kebingungan menghadapi sikapku.

"Maafkan aku, Mocca. Aku .. aku pantas mendapat hukuman darimu. Tolong hukum aku."

"Apa maksudmu, Hallow? Kenapa kau menyuruhku menghukummu? Memangnya apa yang sudah kau lakukan padaku? Dan tadi, kau sepertinya baru datang dari luar. Artinya, sejak malam kau tidak tidur? Apa yang sejak tadi kau lakukan? Hallow, katakan apa yang sudah terjadi? Jelaskan semuanya padaku."

Kepalaku menggeleng-geleng lemah seraya tetap menangis. Tidak. Aku tidak sanggup mengatakan ini. Tapi, Mocca harus tahu dengan apa yang sudah aku lakukan. Masalahnya, mulutku terlalu kelu untuk mengatakan ini.

Mocca memegang kedua lenganku. "Hallow, jawab aku. Tatap aku, Hallow. Kenapa kau menolak mataku? Kenapa sikapmu begini? Jangan membuatku gelisah, Hallow."

Mocca HallowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang