11. Don't Say Good Bye

4.7K 378 65
                                    

April

"Aku hamil" kutatap matanya saat kami tiba di kamar nomer tujuh Rendezvouz Hotel. Ia mengenakan jas stelan putih tanpa perlengkapan pakaian seperti sebuah tas yang sering ia bawa saat datang menemuiku.

"Jadi, kapan kamu siap menemui orang tuaku?" dingin kalimatku mengalir, sebuah balasan sikapku atas kehilangannya yang hampir tiga bulan tidak bisa dihubungi. Yansen menunduk, matanya nanar menatap jendela hotel dengan pemandangan area Brash Basah, bagunan bergaya kolonial ini, ia yang memilih agar kami bertemu di sini, sementara kebingungannya menyiratkan kekosongan kata, aku benci menunggu.

"Yansen jawaaaab....!! " teriakku setengah menjerit padanya yang masih mematung.

"Im sorry Pril, kita harus gugurkan anak itu, aku belum siap untuk jadi ayah!!" lagi-lagi semesta kembali memberikan luka yang bertubi-tubi setia menghantamku. Aku terduduk lemah mendengar kalimat yang keluar dari mulut pria yang sempat aku cintai ini, mengapa sekarang ia sepengecut ini, mana janji setia, dari ribuan rayuan kata cinta yang ia lontarkan padaku berhari-hari dulu saat merampas manisku dan sekarang dengan gampang ia memintaku menggugurkan anak hasil hubungan dari darah daging ia yang ia tanam dibenihku, sepecundang itukah pria yang hanya berani merayu didepan tapi tak berani mempertanggung jawabkan perbuatannya, sungguh sikapnya bahkan lebih nista dari kawanan hewan.

"Tapi kamu berjanji menikahi ku, dan pertemuan kita selanjutnya setelah pertemuan kita ditiga bulan yang lalu kamu akan mengajak aku bertemu Papa dan Mama , apa kamu lupa?"

Duduk ditepian tempat tidur dengan menggenggam erat seprai tangisanku menumpah tanpa mengalihkan tatapanku dari arah wajahnya.

"Aku nggak lupa Pril, hanya saja, untuk saat ini aku belum siap, proyekku mandet, danaku belum cair hingga detik sekarang, bagaimana mungkin aku menghubungi kedua orang tuamu dengan tangan kosong, aku bisa kembali dihina oleh mereka"

"aku tak perduli dengan itu semua, kita harus tetap menemui orang tua ku ada atau tidaknya pekerjaanmu, kita nggak bisa nunda lagi, sementara perutku semakin hari,  semakin membesar, aku nggak mau nanggung malu ini sendiri"

Yansen berdiri, wajahnya memitam seakan memerah menahan amarah, ia tetap murka dan bersikeras tidak ingin mempertanggung jawabkan semua, dengan alasan belum siap ini dan itu, seolah ingin lari dari masalah, dengan tetap memaksaku menggugurkan kandunganku, dan bahkan ada yang lebih menyakitkan, ia memutuskan untuk berpisahan dengan ku.

"Bajingan..! " aku berteriak sarkastik,

"Apa yang membuatmu berpaling, apa karena perselingkuhanmu dengan mahasiswi murahan itu, kamu lebih memilih Cici lalu ninggalin aku?"

"Cici, kamu kenal Cici?"

"Kenapa, kaget?, aku menemukan kwitansi chekin hotel serta foto mesra kalian di ponsel, orang yang selama ini aku anggap lebih dari sekedar sahabat, penghianat, mengatur makar di belakang lalu meninggalkan aku seperti sampah, kau sama buruknya dengan dia"

"Aku nggak ada hubungan apapun sama dia, Cici mahasiswi yang saat itu kebetulan melakukan penelitian bersamaan tugas kerjaku di Jepang, lagipula dia bilang sudah memiliki pacar, foto itu aku ambil saat pemberhentian kami di taman Sakura, aku yang memaksa ia untuk berfoto, sementara kamar hotel itu sengaja aku pesan dengan data kependudukan saat ia ketinggalan paspor di penginapannya, ia harus berpindah penginapan, mengingat jarak penelitiannya berdekatan dengan jarak hotel yang aku pesan untuknya, hanya itu, tidak lebih" jelas Yansen terbata mulai terlihat ekspresi ketakutan pada intonasi nada bicaranya, apa yang sesungguhnya ia sembunyikan, dan aku tidak percaya dengan apa yang Yansen katakan padaku barusan, aku tak lagi ingin dipecundangi berkali-kali oleh pengkhianatan yang tersusun begitu rapi sementara Cici mencuci bersih drama persahabatannya padaku. Aku benci mereka semua, aku benci pada duniaku.

Cinta Dari Langit [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang