10. Kemelut Prasangka & Diagnosa Akhir

4.4K 404 18
                                    

Tidak semua orang benar-benar berani melepaskan meski dibunuh paksa mati hatinya, luka masih menganga dan didalamnya masih tertoreh luka. April meliut lemah saat buliran halus air  yang membasahi kelopak mata jatuh membasahi pipi, rasa sesak bak bom molotov seketika mengepingkan partikel perasaannya yang tercabik pilu luka, ia pandangi sebuah album foto kebersamaan ia dan Onci mengenakan seragam putih abu-abu disaat mereka masih SMA, bagaimana mungkin ia menaruh seorang pengkhianat sekamar bersamanya untuk menaburkan bibit-bibit hama disaat ia memberikan air penghidupan, rasa sakit dan bencinya bagaikan stalaktit yang dengan sigap menusuk kekepala, dendamnya semakin membakar. Ia bangkit dari tempat tidur kamar hotel menuju ruangan tengah, meronggoh sebuah ponsel menghubungi nomer Yansen yang hampir beberapa hari ini tidak bisa untuk ia hubungi, beberapa kali ia mencaci maki diri dan menghempas ponsel itu ke lantai hingga berserakan memecah, batry dan casing terlepas dengan jarak berlawanan, April semakin gelisah, rona sedih masih membias, dengan rambutnya yang masih berantakan serta wajahnya yang membengkak akibat tangisannya yang tidak terhenti selama beberapa hari.

"Yansen. Come on" lirihnya penuh harap agar adanya sambutan suara dari arah seberang telpon, namun tetap nihil, ia kembali mengangkat telpon keduanya setinggi kepalan tangannya di atas kepala, namun belum sempat ia membanting smartphone itu, akal sehatnya kembali berfungsi, ia hanya mencampakkan ponsel kedua itu tepat di atas kasur, mengingat masih banyak urusan yang harus ia urusi. Tidak ingin menunggu waktu lama, dimana ia merasa seolah waktu kini tidak berpihak padanya, ia bergegas menuju kampus, menunggu beberapa tahapan konsultasi, ia harus segera mengejar untuk memasuki tahapan seminar, ia menghadap beberapa kali dosen pembimbing terhadap laporan penelitiannya terkait pembelaan pembunuhan yang dilakukan tanpa kesengajaan atas dasar proteksi diri, menurut pembimbing utama April tidak memiliki teory yang cukup kuat dalam melicinkan desainnya ketahapan lanjutan, referensi yang ia miliki masih cukup lemah, apa lagi ia terkesan menukil beberapa teory dari google pencarian, dan itu cukup membuat ia frustasi berkepanjangan, bolak-balik perpustakaan serta menuruni beberapa tingkat gedung ia lakukan dengan exstra, berharap targetan ia minggu-minggu ini akan segera memasuki tahapan penelitian lanjutan,  ia ingin bergegas selesai, mempercepat proses menuju sidang agar hari-harinya terlepas dari beban perkuliahan, belum lagi ia harus sering bertemu pada sosok yang kini ia anggap sebagai rival, beberapa kali ia berpapasan dengan Onci, April lebih memilih membuang tatapan, beberapa kali pula bertemu pada blok yang sama di library , namun April memilih pergi jengah menatap Onci dari kejauhan.

Meski sebab benci beralasan, namun rasa sakit akibat luka yang masih membasah, tak membuat Onci lantas berpasrah, ia justru menawarkan bantuan pada April, barang bantuan  tenaga, referensi yang ia miliki, bahkan bantuan mengetik sekalipun berbagai penolakan ia dapatkan, namun ia tahu, April memiliki sikap keras kepala yang terlalu tinggi, meski begitu Onci paham betul bahwa marah April tak pernah membilang hari, namun tidak dalam hal kesalah pahaman ini, beberapa kali pula ia memberikan penjelasan saat usai membaca pesan berisikan fitnahan yang menjijikkan Yansen diponselnya, ia justru mendapati semua chatnya tak satupun di read oleh April, sebab usai mengusir Onci, April memblokir Onci dari seluruh pertemanan, baik secara nyata, maupun disosial media. Tidak ada ruang lagi bagi Onci untuk sekedar melakukan pembelaan, baginya April telah dirasuki kebencian bagai gumpalan darah yang menghitam,  tak ada ruang baginya tuk sekedar masuk dari kegelapan prasangka berbalut emosi, dan Onci seolah tak lagi ada harapan.

[¶]

April

"Yanseenn, plesee angkaat" aku terus menghubunginya dijam malam, namun tidak ada tanda-tanda keberadaan ia di sana, usia kehamilanku akan memasuki bulan kedua, aku masih menagih janji Yansen untuk menikahi aku, perutku akan semakin membesar, aku takut ia justru berpaling, bagaimana mungkin Yansen menghianati aku dengan bermain serong dengan Onci, oke baiklah, Yansen tidak sepenuhnya salah, karena dia tidak tahu siapa Onci buat aku, tapi Onci? Dia tahu meski pertemuan sekilas saat itu ia tidak berani untuk mendekati aku, pasti itu alasan Onci ngemilih pergi dan diluar sepengetahuan aku, dia justru masih menjalin hubungan sama Yansen di belakang aku, oke fixs, mereka berdua sama-sama pengkhianat, namun untuk urusan Yansen aku tidak boleh gila dengan memutuskan sepihak, mengakhiri hubungan kami seperti aku mengakhiri hubungan pertemananku dengan Onci, aku masih membutuhkan Yansen, aku masih membutuhkan pengakuannya, aku berharap ia sebagai penguatku di depan keluarga, biarlah dunia membilang aku telah gila karena cinta, sebab aku sungguh-sungguh mencintainya, aku memiliki alasan tuk memaafkan kekhilafannya.
Dering ponselku berbunyi, sebuah nomer handphone yang telah kuhafal bagian belakangnya itu terus menyala dilayar ponselku, sebuah panggilan tanpa nama, sebab telah lama aku menghapusnya, menghapusnya dari setiap memory semua tentangnya.

Cinta Dari Langit [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang