25. Shootout

3.8K 415 44
                                    

Suara gemerincing rantai pagar samping dan decitan besi penyekat garasi terdengar begitu nyaring, April mengucek mata saat labuhan mimpi mulai mengantar ia kembali terjaga, ia masih dalam pelukan Onci pada sofa ruang tengah, ternyata mereka terlelap tanpa sempat berpindah keruang kamar. Ada rasa diri ingin membangunkan Onci namun ia tak tega, sebab besok ia tahu Onci sudah harus kembali bekerja. Namun berisik suara desingan besi dan goresan serpihan porselen seperti sengaja bersentuhan dengan benda tajam.

April bergidik dalam diam.

"On, O,On, bangun pleasee" Tak lagi mampu menahan rasa takut menciut memperhatikan sekeliling dalam ruangan, tampak dengan penerangan redup, sehingga tak memungkinkan mereka mampu menangkap cahaya dari arah luar pintu rumah.

"Oon, kamu denger nggak itu suara apa?"

"Hmmm, suara?" Dalam batas setengah sadar, Onci kembali membetulkan alas kepala seraya kembali merebah mengganti jeda tidur dengan memulaskan kembali diri tanpa menyadari apa yang saat ini April khawatirkan.

"Ooon, bangun dulu deh, buruan bangun" Dengan suara berbisik, April menarik lengan Onci agar gadis itu bangkit untuk menatap wajah April yang kini tampak terlihat seperti orang yang sedang menahan takut.

"Pril udah malem, aku ngantuk, tidur yuk".

"Dengerin dulu, kamu denger nggak itu bunyi apa?". Onci membuka mata saat gesekan besi pagar yang berpusat pada sisi kanan ruangan terdengar sangat jelas.

"Itu suara tralis Pril, kayanya dari jendela kamar kita.." April melompat dari arah kursi sambil memeluk Onci yang kini pun sama dalam keadaan ketakutan.

"Itu tuh rampok apa gimana, atau nih rumah kamu ada hantunya?". Onci menatap April mencoba berusaha tenang dengan menghidupkan akal sehat meski ia pun sama takutnya. Takut adalah suatu mekanisme pertahanan hidup dasar yang terjadi sebagai respons terhadap suatu stimulus tertentu, salah satunya saat merasakan adanya ancaman bahaya. Sekalipun merupakan emosi dasar, Onci harus bersikap tenang di tengah-tengah April yang tampak gelisah. Tak ada langkah lain, sebab gegabah hanya akan memerangkap mereka berdua kedalam tindakan yang justru merugikan mereka secara bersama, saat ini, akal dan instinglah yang harus bermain.

"Kalau aku menghubungi Gina atau Mira, itu akan memakan waktu yang lama untuk dia dan teamnya sampai ke sini.."

"Yaudah telepon aja On, siapa tau dia ada solusi". April berdiri dengan posisi berjengket menahan pipis.

Sejenak berpikir sebelum akhirnya Onci mensilentkan handphone dan menelpon Gina yang membutuhkan waktu satu menit hingga akhirnya panggilan terjawab.

"Mbak Gina, di rumah aku sepertinya ada perampok deh, tralis kamar utama besinya seperti sengaja dilas",

"Kamu kunci kamar itu dari luar, dan masuk keruang kerja, tutup semua pintu untuk mengulur waktu mereka menemukan kalian di sana, karena kami harus menunggu mereka masuk dulu baru bisa melakukan penyergapan".

"Mbak Gina sekarang ada di mana?"

"Kami ada di depan rumah kamu, jangan mengeluarkan suara dan tenanglah.." Seulas senyuman merekah, Onci menutup panggilan lantas melangkah menuju kamar utama dan mengunci kamar itu secara perlahan, usai memastikan pintu terkunci, Onci memimpin April menuju arah ruang kerja lantas mengunci pintu dari arah luar seraya meninggalkan sendal tepat pada depan pintu. Ia kembali menarik April menuju dapur, lalu memilih lemari kayu bagian bawah yang tampak kosong, cukup untuk dimasuki dua orang.

Onci menarik lengan April yang kini jelas terlihat pucat.

"Aku bilang juga apa kan On, kamu kenapa nggak milih jadi pengacara aja kenapa harus..."

Cinta Dari Langit [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang