[12] Call Me Away

1.9K 88 2
                                    

duabelas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

duabelas

BILAL menutup pintu rumah pelan saat memasuki rumah. Diruang TV memang masih ada Sandra, Sandy juga Bani. Tapi siapapun yang memasuki lewat pintu kedua, pintu yang paling sering keluarga mereka lalui, pasti tidak pernah disadari oleh orang-orang diruang keluarga. Karena letaknya yang berjauhan. Karena yang letaknya dekat dengan lingkungan yang sering disinggahi keluarganya adalah pintu utama, tempat tamu-tamu kedua orang tuanya.

Rumah ini besar.

Bilal pun sering lelah jika melangkah bolak-balik dari kamarnya ke kamar Mamanya jika dipanggil oleh Sandra.

Bilal berhenti didepan pintu kamar Aina dengan senyum lebar juga satu kotak cheesecake untuk membayar kekesalan Aina tadi pagi. Ketika cowok itu hendak mengetok pintu, keningnya sedikit berkerut karena pintu tidak tertutup dengan rapat. Akhirnya Bilal masuk saja. Namun kembali terdiam ketika melihat Aina menoleh dengan wajah yang sembab dan basah.

Aina menangis.

Bilal segera mendekat setelah menutup pintu. “Kenapa, Na?” tanyanya cemas.

Aina mengusap wajahnya, lalu menggeleng.

“Na.” ucap Bilal penuh penekanan. “Lo kenapa?”

Aina menghela napas. “Gue kangen Papa. Seriously.” katanya kembali menangis.

Bilal menghela napas pendek, jika sudah itu alasannya, Bilal bisa apa? Ia hanya bisa diam, dan menarik Aina kepelukannya.

“Udah, dia pasti baik-baik aja.” katanya mencoba menenangkan.

“Dia dimana?” tanya Aina dengan suara bergetar.

Bilal terdiam, tidak bisa menjawab. Karena memang ia tidak tahu dimana keberadaan Ayah Aina. Bilal diam, mengusap belakang kepala Aina pelan. Menghirup aroma shampo Aina yang membuat Bilal nyaman sekejap. Dan enggan melepas pelukannya.

“Jangan dipendem sendiri, gue ada buat lo. Panggil gue kapan aja lo butuh temen.” bisik Bilal pelan.

Aina makin sesenggukan. “Gengsi lah,” jawab gadis itu membuat Bilal mengernyit bingung. “Tadi pagi kan gue abis marah-marah ke lo. Nendang perut lo lagi. Mana seharian lo gak dirumah.” Aina kembali menangis.

Bilal terkekeh mendengar ucapan gadis itu  reflek ia menggerakan tubuhnya kekanan dan kekiri sehingga Aina ikut bergerak seirama. “Alesan dah. Biasanya aja gak punya malu sok-sok gengsi.”

Aina tambah menangis. Membuat Bilal akhirnya diam. “Oke-oke gue salah.”

Seketika tangis Aina sedikit mereda. Bilal kembali terkekeh, namun tanpa suara, sejenis senyum lebar yang sulit dipudarkan.

ConfessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang