[32] Belum pasti.

1.5K 71 5
                                    

tigapuluhdua

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

tigapuluhdua

ANGIN malam yang masuk melewati jendela yang terbuka membuat kelopak bunga matahari itu bergerak, membuat rambut yang masih terkucir satu diatas itu terhempas pelan, membuat lehernya terasa dingin karena keringat yang mengalir dileher terkena angin.

Lampu kamarnya sengaja dipadamkan. Hanya dengan cahaya minim meja belajar. Bilal berharap. Hatinya tak gelap sendirian. Setidaknya, kamarnya juga terasa gelap. Agar ia tak merasa sendiri.

Setelah rentetan kata yang membuat Bilal serasa jatuh kelubang paling dalam. Awan mendung serasa mengikuti kemanapun cowok itu melangkah.

Hingga saat ini, saat cowok dengan nama lengkap Sabilal Hafzah Pahlevi itu duduk termenung. Awan gelap tetap menyelimuti kepala Bilal sehingga membuatnya serasa hampa.

Tangan yang memegang satu bucket bunga matahari yang dirangkai indah itu mengeras ketika mengingat betapa bahagianya Aina saat berkata, gue kira cinta gue sepihak, ternyata Riko juga cinta sama gue!

Bilal kembali tersenyum miris. Membuang napasnya kasar lalu mengusap wajahnya beberapa kali.

Badannya masih terasa lengket, walaupun ia sudah mandi disekolah tadi. Baju basketnya masih melekat ditubuh, belum berniat diganti kaos dan bergegas keluar dari kamar setelah lima menit yang lalu Aina mengetuk pintu kamarnya.

Dan dengan cerdasnya, juga fake smile yang diberikan Bilal pada Aina. Cowok itu berkata: gue mandi dulu ya, biar tambah ganteng.

Lagi, rasa miris menghantui diri Bilal. Bilal merasa tersesat dihutan yang dalam dan gelap. Tetapi, ini lebih menyesakan. Sehingga bernapas pun rasanya berat.

Jika Bilal disuruh me-filosofi tentang patah hati.

Bilal hanya mampu berkata: seperti sesuatu yang patah tanpa bunyi, sakit tanpa rupa, dan sesak tak kasat mata. Menyakitkan dan sulit diucapkan.

Hatinya serasa penuh dengan gejolak, tapi bibir tak mampu terbuka. Hanya bisa terkatup rapat dengan mata yang berkabut ingin menangis.

Tetapi, Bilal tetap berusaha cool. Enggan menangis. Padahal kepala dan hatinya sinkron, rasanya seperti akan meledak.

Bilal mengusap wajahnya sekali, dengan napas yang terbuang kasar namun perlahan. Tangannya pun meraih ponsel didalam tas yang berada dibawah meja. Lalu menyentuh tombol lock.

ConfessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang