Bagian 2

5.7K 434 35
                                    

"Kau parah sekali tidak membawa cemilan. Padahal sudah lama aku menunggumu." Katanya sambil duduk dihadapanku yang sedang membereskan pakainku.

"Aku tidak tau kau menunggu, jadi aku tidak membawanya." Kataku.

Gadis mungil itu bernama Alenda Crisqel. Orang Jerman namun besar di Inggris. Sama sepertiku. Kami berdua banyak kesamaan. Namun dia lebih menyedihkan. Kalau orangtuaku meninggal, Kalau dia dibuang sejak 2 tahun lalu ketika umurnya 8 tahun. Aku bertanya kenapa, namun ia tidak ingin memberitauku karena aku masih orang asing baginya.

"Alenda, bisakah kau membantuku memasang sprei di kasurku? Paman Crush menyuruhku memasangnya agar terlihat rapi." Kataku.

"Aku tak mau. Aku mau makan. Lagipula, tanpa aku pun kau bisa memasangnya dengan sangat rapi." Katanya. Ia lalu bangkit berdiri lalu berjalan menuju ambang pintu, membukanya dan menutupnya kembali. Ia keluar dari kamar. Dan dia tidak mau membantu.

Aku mulai berpikir bahwa Hiskia Mungkin benar tentang gadis itu.

Aku menghela napas kasar. Mengingat bahwa dia masih anak anak. Aku maklumi saja. Aku bangkit dan mulai menarik sprei yang sudah ku keluarkan dari laci lemariku.

Sambil merapikan tempat tidurku, aku memikirkan perkataan Alenda.
Padahal sudah lama aku menunggumu.
Itu yang ia katakan. Ia mengatakannya seolah olah ia sudah meramalkannya.
Astaga, ayolah. Mungkin itu hanya hirauan yang dibuatnya.

Ketika ranjangku sudah rapi, perutku mulai berbunyi. Aku lapar. Aku keluar dari kamar, berjalan sepanjang lorong kamar, menuruni tangga. Sesampainya di dasar, aku baru mengingat bahwa aku tidak tau dimana dapur berada. Aku melihat sekelilingku, berharap ada Seseorang untuk ku tanyai. Sepi. Hanya meja dan kursi yang diam ditempatnya.

Aku memutuskan berkeliling. Aku berjalan, melewati ruangang ruangan. Melewati sejumlah pintu.

Lalu, aku melihat seorang pria duduk di teras belakang, memandang kolam ikan yang membelakangiku sambil memegang gitar, Mungkin memainkannya.

Aku lalu buru buru membuka pintu kaca, yang terhubung di teras itu, lalu berjalan pelan kearah pria itu.

"Permisi," Kataku berjalan kearah depannya melihat pria itu. Dan betapa terkejutnya aku. Ia hanya punya Satu bola mata dari dua kelopak matanya. Kelopak mata satunya menganga membentuk lingkaran hitam. Kelopak itu kosong. Sekujur tubuhku merasa kengerian di Setiap kulitku.

"Maafkan aku." Kataku lalu berbalik membelakanginya. Aku mendengarnya sedikit tertawa. Tawa yang kecewa atau Mungkin tawa mengejek.

"Maafkan aku jika kau harus terpaksa melihat rupaku." Katanya. Ia seperti mengambil sesuatu.

"Tidak. Aku yang meminta Maaf karena melihatmu dengan ekspresi kaget. Aku benar benar minta Maaf." Kataku tidak enak.

"Berbaliklah." Mungkin aku salah mendengar. Aku benar benar tidak mau melihat kengerian itu lagi.

"Apa?" Tanyaku lagi. Memastikan Kalau aku salah dengar.

"Berbaliklah. Sudah tidak apa apa." Katanya. Aku menahan napasku. Memutar badanku menghadapnya. Ia sudah memakai penutup sebelah matanya. Aku lega.

"Kau pasti baru disini. " Katanya.

"Memangnya kenapa kalau aku baru?" Tanyaku.

"Karena yang lain tak akan mau melihatku dan menyapaku. Mungkin besok kau juga akan seperti mereka." Katanya.

"Tidak! Aku tidak begitu!" Kataku membantah. Ia tersenyum simpul.

"Semoga saja." Katanya. "Jadi ada apa anak baru?" Tanyanya.

The Secret HouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang