bagian 21

3.4K 315 19
                                    

Entah apapun itu, penglihatanku tak jelas. Ada pintu didepanku, sekelilingku hanyalah berlatar putih. Kepalaku sangat sakit,teramat sakit. Denyutan darah terus berdenyut dalam kepalaku.

Aku mengetuk pintu lebar yang berada dihadapanku, namun tak satu pun orang yang berniat untuk membukakannya. Akhirnya aku mendorong pintu itu hingga terbuka.

Dan aku terkejut, aku melihat kedua orangtuaku tertawa senang kearahku. Ah! Bukan, mereka memandang bahagia kearah yang lain, mungkin tepatnya berada di belakang punggungku. Aku penasaran dan berbalik.

Pintu lebar berubah menjadi halaman luas ditumbuhi rerumputan hijau. Dapat kulihat tawa girang polos itu. Ponis yang dipotong tidak rata dan mata biru cerah bermain dengan seekor anjing. Itu diriku. Snow kecil.

Ponis itu berterbangan ditiup angin. Aku mengingat, saat itu aku sendiri yang memotong ponisku hingga tidak rata, dan aku sangat menyukainya, tak peduli jika ditertawakan.

Tidak lama, rintikan hujan menetes, membasahi sebagian si 'Snow kecil'. Aku melihat mom cepat - cepat bergegas kearah 'Snow kecil' dan mengendongnya, lalu bergegas masuk kedalam rumah sambil berjalan menembusku. Aku sempat berpikir, inikah alam setelah kematian?

Aku berjalan memasuki rumahku. Tak usah repot - repot untuk mengetuk, aku layaknya hantu yang dapat menembus dinding.

Namun aku terkejut dengan suasana yang agak suram. Pemandang berubah menjadi hangat dan orangtuaku terlihat makin tua dari sebelumnya. Aku memandang tepat didepanku. Ayahku yang menatap kasihan pada sesuatu. Aku berbalik lagi dan kulihat diriku yang menjadi remaja yang tertidur di meja belajarku.

"Dia anak yang baik,bukan?" Aku menoleh lagi. Ayah yang bersuara. Aku menjadi heran, pada siapa ia berbicara.

"Mungkin bisa dibilang begitu." Tololnya aku merespon pembicaraannya.

"Dia selalu berusaha keras. Walau dia itu seperti preman. Hahaha, preman berhati lembut?" Balasnya lagi. Aku makin heran, apa Ayahku benar - benar bicara denganku?

"Hahaha, aku ingat sekali saat aku dipanggil karnanya. Gurunya memberi peringatan karna dia memukul 3 laki - laki karna mereka menyontek ulangannya. Dia sama sekali tidak peduli jika ia harus di pindahkan." Sahut seseorang wanita yang tentu itu momku.

Hening seketika. Ayah mengehela napasnya pelan. Ia berjalan kearah momku dan mencium pucuk kepalanya.

"Kita harus memberikannya,George." Kata mom. Ayah menggeleng.

"Tidak tidak tidak." Balas ayah. Mom terlihat protes.

"Kapan kau akan memberikan liontin itu?"

Liontin? Sepertinya aku mengetahuinya. Namun untuk apa?

"Tidak,sayang. Ada rasa dendam, sakit hati, ketakutan, keserakahan didalamnya. Banyak dosa didalam liontin itu. Itu benda terkutuk! Bahkan kita saja tidak bisa menghancurkannya." Kata Ayah.

"Setidaknya kau memberitau tentang liontin itu padanya." Balas mom. Ayah merogok saku mantelnya. Sebuah liontin kaca dengan cairan merah didalamnya. Liontin itu bernyala - nyala. Ayah mengeluarkan liontin itu dan memandang mom secara bergantian.

" 'keraguan adalah titik terkuat, keyakinan adalah titik terlemah'. Kau mengerti maksud dari kutipan itu?" Kata ayahku.

"Kutipan cina kuno? Berhubungan dengan keseimbangan elemen?"

"Aku tidak bicara tentang keseimbangan elemen, aku bicara tentang maksudnya, maksud dari kutipan itu. Kutipan yang sebenarnya ialah syarat menghancurkan liontin ini." Balas ayah. Mom hanya mengedikan bahu.

The Secret HouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang