Bagian 8

5.3K 373 10
                                    

Aku berlari menaiki tangga. Hari ini terlalu ramai. Bahkan di lorong kamar. Banyak yang nongkrong didepan kamar. Tumben. Tapi tak apa. Itu mungkin mengecilkan kemungkinan bahwa orang itu, tidak, lebih tepatnya Pria itu tidak muncul. Tanganku gemetar. Jantungku masih berdetak keras. Keringat dingin bercucuran di tubuhku.

Aku membuka pintu kamarku dan membantingnya. Aku melihat Alenda di lantai, terbalut oleh selimutku, ia ketakutan.

"Alenda!" Kataku. Ia menatapku.

"Syukurlah. Syukurlah kau selamat." Katanya. Bahuku merosot. Aku berjalan kearahnya, mengeluarkan toples itu dari dalam bajuku. Aku duduk di hadapannya.

"Aku menemukan ini." Kataku berusaha menelan ludah. Alenda melihatnya. "Ini, Siapa? Maksudku, milik siapa Bola mata ini?" Tanyaku. Suaraku gemetar. Dia bangkit berdiri. Dia merapikan selimutku dan menatapku.

"Aku mau tidur." Ia tidak bisa menahan suaranya. Suaranya gemetar. Rasanya ingin menangis. Aku berdiri, menaruh toples itu tetap di lantai dan memeluk Alenda. Aku menangis. Aku memeluknya sambil menangis.

"Aku benar benar takut. Tadi aku hampir mati. Aku akan mati jika jendela itu tidak ada! Aku akan mati jika aku tidak kuat lari! Aku akan mati jika halaman tempat anak-anak bermain masih jauh. Aku takut sekali." Kataku sambil menangis. Alenda memelukku. Ia juga menangis. Tangisan sangat keras dan nyaring.

"Aku juga takut! Aku takut kalau kau tidak berhasil hidup. Aku takut otakmu tiba tiba buntu dan tidak tau apa yang harus kau lakukan! Apa kau tau, ketika aku membalut selimutmu ditubuhku, kejadian itu terputar seperti video. Seperti film. Percuma aku membuka mataku lebar-lebar, peristiwa itu tidak menghilang! Itu tetap berputar! Dan betapa takutnya aku! Kau tau itu?!" Katanya. Suara nyaringnya memenuhi kamar.

TOK TOK TOK
Kami terdiam. Dan kekhawatiran memenuhi diri Kami dalam pelukan.

"Apa yang terjadi didalam sana? Apa kalian sedang menangis?" Seseorang dibalik pintu. Kami tiba tiba tertawa bersama. Lalu aku melepaskan pelukanku.
"Kami hanya sedang latihan drama." Kataku tanpa membuka pintu. Aku mengusap air mataku. Orang itu hanya ber-oh-riah dan meninggalkan kamar Kami. Alenda menatapku. Aku melirik ke toples. Dan aku mengingat seseorang. Jason.

"Kau harus berhati hati, Snow. Bisa saja dia mengejarmu. Dia sudah berkata bahwa dia menginginkanmu. Kau harus selalu awas dan tidak terlalu percaya pada Siapa pun. Kau mengerti?" Katanya. Aku mengangguk.

Malam ini, aku tidak ingin makan. Alenda juga. Ia tidak mau makan karna melihat Bola mata didalam toples yang ku bawa. Aku juga. Baju- baju darah, kain bernoda penuh darah, yang tidak berniat untuk membersihkannya. Aku merasa mual. Aku tidak sanggup makan. Maka, aku hanya membaca pelajaran, mendengar musik, berharap agar Semua yang kulihat hilang dari ingatanku.

Namun aku tak tenang. Aku selalu berpikir tentang Jason. Jason kah? Apakah pria itu Jason? Mungkin saja. Seharian aku tidak melihatnya. Namun Kata Bunda Muda, dia lagi dihukum. Hukuman apa sampai lama begini?

Aku mengambil toples itu didalam laci meja belajarku. Menatapnya dengan banyak pertanyaan dan perkiraan. Bola mata berlensa hitam. Mata Jason hitam. Ia kehilangan matanya. Namun aku tidak tau ia kehilangan matanya sejak lahir atau dia mencongkelnya sendiri. Mencokelnya sendiri, itu terlalu mengerikan. Namun jika itu mungkin saja, tapi kenapa?

Lalu pria itu. Ia memakai topeng untuk menutup hampir seluruh wajahnya. Hanya mata kanannya saja yang ia biarkan. Dia seperti Jason. Jason selalu menutup mata satunya memakai penutup mata. Namun aku tidak ingat mata mana yang ia tutup. Apa kiri juga? Pria itu terlalu bisa menggambarkan sosok Jason. Mungkinkah Jason?

Kalau itu benar Jason. Pantas saja. Pantas saja hari ini ia tidak terlihat. Pantas saja ia membohongiku tentang ruangan itu. Pantas saja banyak orang memanggil dia terkutuk. Tapi, aku belum yakin. Aku benar benar belum yakin, Bahkan tidak yakin. Walaupun kemungkinannya besar.

The Secret HouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang