Bagian 18

3.1K 324 6
                                    

Don't Forget for Votment ♡

Matanya membulat besar. Ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

"Bagaimana bisa?" Tanyanya. Aku memegang erat toples berisi bola mata.

"Tentu aku bisa." Kataku. Dia ingin merebutnya namun aku taruh kembali kedalam tasku.

"Aku ingin kejujuranmu. Ini matamu kan?" Tanyaku.

"Ya. Ini mataku."

Diam sejenak.

"Apa kau tau pisau kecil di dapur yang sudah lama hilang?" Tanyaku. Dia terdiam dan mengangguk pelan. Sangat pelan hampir tak bisa kulihat.

"Ya."

"Kau memakainya untuk mencokelnya?"

"Ya."

Hening.

"Dimana pisau itu? Dimana kau menyembunyikannya?" Tanyaku.

"Aku tidak tau."

"Dasar tukang bohong! Bagaimana mungkin kau tidak tau."

"Aku tau apa yang ada di pikiranmu," dia menyeringai. Aku merasa kengerian dan sadar kalau di sini sepi. "Aku sudah pernah mengatakannya, aku bukan pria bertopeng itu." Katanya dingin. Dia masih menatpku, kengerian masih menjalar di tubuhku.

Jason mengulurkan tangannya, seperti meminta sesuatu.

"Berikan mata itu. Itu milikku, kau harus mengembalikan pada pemiliknya,bukan?" Kali ini ia tidak memandangku. Aku merogoh tasku lalu memberikan toples itu pada Jason. Ketika ia sudah menerimanya, ia langsung berbalik dan berjalan meninggalkanku. Mungkin ia kecewa karna aku mencurigainya.

Aku masuk dan berjalan ke arah ruang tamu dan menemui Arthur dengan tangan dilipat. Ia terkejut ketika melihatku yang memandangnya. Aku menghela napas dan duduk di sampingnya, bersandar di sofa nan empuk. Dia masih memandangku.

"Kau melewati hari yang berat." Katanya.

"Bukan aku saja, kita semua." Balasku lalu menutup mataku, menenangkan diriku. Diam sejenak. Pandangannya beralih melihat tas gantungku.

"Kau dari mana saja?" Tanyanya. Aku menghela napasku.

"Aku tidak dari mana - mana. Hanya menghirup udara." Kataku masih tetap memerjapkan mata.

"Kau tidak kemana - mana namun membawa tas?" Tanyanya lagi.

"Niatnya ingin membeli alkohol-"

"Kau masih 16 tahun."

" I don't care anymore." Balasku. Dia menghela napas kasar dan tiba - tiba saja ia duduk ditegak di hadapanku. Aku membuka mata sedikit melihatnya.

"Aku punya tempat bagus untuk menjernihkan kepalamu." Katanya. Mataku kubuka besar besar.

"Jangan katakan kita akan pergi ke pub dan membeli banyak bir. Kita masih SMA." Kataku.

"Tidak. Tempat ini, sangatlah indah. Tidak semua orang tau tempat ini." Matanya berbinar. Aku agak ragu - ragu.

"Apa jauh?"

"Tidak."

"Kau menjamin tempatnya indah?" Tanyaku.

"Ya!" Katanya semangat.

.

Aku menyetujuinya. Aku pun berganti celana, memakai jeans, syal putih membalut leherku dan sweater pink. Aku turun tidak membawa apa-apa.

"Kau mau kemana?" Aku kaget melihat Alenda yang tiba-tiba muncul ketika aku membuka pintu kamar untuk beranjak keluar.

"Aku hanya ingin berjalan - jalan." Balasku.

"Sebaiknya kau tidur siang, berbaring - baring di ranjangmu." Katanya. Ia berjalan melewatiku lalu menarik lenganku. Aku melepas paksa tanganku. Ia menoleh kaget.

"Aku hanya ingin berjalan-jalan." Kataku.

"Di luar dingin. Matahari pun tidak nampak. Kau mau kemana saat suasana dingin? Apalagi pagi ini kita baru saja mengalami duka." Katanya, suaranya tegas. Aku menghela napas.

"Aku tidak bisa tidur bahkan tak mau tidur karna kejadian pagi ini-"

"Jangan kemana-mana. Lebih baik begitu." Dia memotong pembicaraanku. Amarahku naik. Aku membuang napas kasar.

"Ayolah! Aku hanya ingin berjalan-jalan! Aku hanya ingin menghibur diriku! "

"Itu berbahaya!" Ucapnya sangat tegas.

"Apa yang berbahaya?! Aku hanya jalan-jalan!" Astaga, aku hampir berteriak. Hening. Cukup lama kami menjadi diam.

Alenda menghela napasnya, mengatur nada bicaranya,

"Dengan siapa?" Tanyanya berusaha tenang.

"Arthur."

"Jangan, aku mohon."

"Kenapa?"

"Keadaan saat ini terlalu berbahaya,Snow, kau harusnya curiga pada siapapun di rumah ini." Katanya. Nada bicaranya masih tenang. Namun aku tidak bisa setenang itu.

"Tapi aku percaya-"

"Arthur berbahaya." Potongnya lagi yang berhasil membuat aku terkejut dan atmosfer tiba-tiba menjadi sangat dingin. Aku mengkerutkan keningku.

"Apa?-"

"Percayalah." Aku menghela napas.

"Kau mencurigai Arthur? Kau bilang Arthur berbahaya? Tidak! Kau salah! Arthur tidak pernah buat apapun terhadapku. Kau salah,Alenda! Arthur tidak berbahaya-"

"Tidak,Snow! Tidak! Kau salah! Aku mohon."

Sontak aku memegang, hampir meremas bahu mungilnya.

"Seseorang yang pantas kau curigai adalah Jason. Bukan Arthur." Kataku lalu berbalik meninggalkan Alenda yang masih terpaku ditempatnya.

To be continue..
(^O^) hallo readers, kependekan Ya? Sengaja sih buat penasaran.. masih butuh tanggapan kalian, jadi, bagi bagi votenya ya ^^

The Secret HouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang