bagian 37

638 84 16
                                    

Hello👧👦👩👨

Bau apik ruangan tersebut lagi - lagi aku menciumnya. Memasuki ruangan gadis yang belum ku ketahui namanya. Gadis berambut hitam lebam, kulit seputih salju, mata yang hitam sehitam rambutnya, bibir yang tipis dan agak pucat.

Aku dan Jason duduk di sofa yang tua, bagian kulitnya yang terkelupas dan kumuh.

Gadis itu lalu duduk bersama kami dengan sofa yang sama, memangku kaki dan menyalakan putung rokok, lalu menghisap rokok itu dengan santai dan menciptakan embulan asap di udara. Sepeerti ada kelegaan tersendiri baginya.

Dia keren. Batinku sejenak.

"Apa yang ingin kalian tau?" Tanya gadis itu.

"Begini nona," kataku menggantung menanyakan namanya.

"Kim Mercy. Panggil saja nona Kim." katanya dengan tanpa melihat kami dan melanjutkan menghisap rokoknya.

"Nona Kim, aku ingin tau tentang kedekatanmu dengan-"

"Dia kekasihku." Potong Nona Kim sepolah - olah tau pertanyaanku saat aku mulai bertanya. Dan aku dan mungkin juga Jason, kaget mendengar itu, sehingga tak ada kata - kata yang bisa terucap dari mulutku.

Nona Kim menoleh kearah kami dengan tatapan meremehkan dengan rokoknya disela - sela jarinya. "Ada lagi?" Tanyanya.

Jason berdehem. "Bisakah kau ceritakan kedekatanmu dengan Arthur?" Tanya Jason.

Wanita itu terdiam, lalu melihat ke atap, berusaha mengingat - ngingat suatu memori yang sempat hilang.

"Dia pria yang merubuhkan tembok besar hatiku yang tak pernah ada satu pria pun mampu merobohkannya. Dia pria yang menciptakan dunianya dan duniaku menjadi satu. Dia pria yang menggenggam tanganku dan merasa sangat terjaga saat bersamanya." katanya dengan tersenyum bahagia, seolah - olah merasakan perasaan yang sangat bahagia, walau itu cuma memorial indah yang takan terulang lagi.

Kemudian, ia membuang putung rokoknya ke atas meja, meminum bir yang tinggal setengah hingga habis. Lalu bersandar ke sofa. Memejamkan mata, menikmati bir yang masih tersisa di lidahnya. Mengingat kembali perasaan bahagia yang bercampur aduk dengan kesakitan yang entah sesakit apa yang pernah dialami.

"Aku lupa pertama kali kami bertemu." Ia mulai bercerita.
"Karna depresi yang berat, sehingga alkohol menghapus sebagian memoriku. Tapi aku tak bisa lupa perasaan saat pertama aku menemukannya. Perasaan benci. Entah mengapa aku merasakan itu, padahal aku sangat jatuh cinta padanya hingga tulang - tulangku rapuh merasakan cinta yang mekar." Gadis itu menghela napas yang panjang, kemudian memperbaiki cara duduknya agar lebih rileks.

Ia mengangkat kedua kakinya dimeja, seolah - olah tak ada tamu. Matanya masih tertutup sambil tanganya dilipat diatas perutnya.

"Aku ingat waktu itu ia memelukku, wangi parfumnya melekat kuat pada indra penciumanku. Aku ingat dia menghapus air mataku serta menciumku di kening, dan aku merasakan betapa istimewanya cinta pada kehidupan seseorang. Lalu, aku ingat senyuman bodohnya itu. Dia seperti idiot, tapi aku lebih idiot karna selalu tertawa sendirian kemudian menangis karena mengingat senyumannya yang takan pernah kulihat lagi. Waktu itu sangat indah. Kau tersenyum terus, tak bisa tidur semalaman karna perasaan bahagia dan beberapa kali merasa mati karna rindu lalu hidup kembali ketika sudah di pelukannya.

Tapi itu cuma waktu itu. Waktu itu saat ia belum tau, aku gadis miskin yang ingin tetap hidup. Apapun untuk untuk dijual, agar tetap hidup. Dan dengan terpaksa, aku harus menjalin hubungan dengan seorang pria kaya raya. Dia memberikanku banyak sekali uang dan pakian, walaupun kadang aku diperlakukan seperti hewan dan budak, yang artinya kau menjual harga dirimu." Gadis itu membuka sedikit matanya, melihat kearah kami,tatapan tanpa arti, antara kesedihan atau depresi.

The Secret HouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang