bagian 35

1.5K 162 30
                                    

Hello Readers setia ♡.♡

Pukul 15.00
Cuaca dingin tidak menghalangi kesibukan dan kebisingan kota Ini. Semua orang melangkah cepat mondar - mandir tanpa menatap mata seorang dari lainnya, menyibukan diri dengan waktu yang harus dikejar. Suara klakson kendaran menambah suasana dari padatnya kota ini. Tak ada kata santai diantara pekerja yang mengejar waktu mereka.

Aku dan Jason menaiki taksi, memberikan sepucuk kertas alamat kepada sang supir untuk mengantar kita pada alamat yang tertulis.

Aku menoleh kearah Jason yang duduk terdiam sambil melihat kearah depan, serius memerhatikan jalan yang penuh dengan keramaian.

"Ini sangat penting bagiku." Kataku tiba - tiba memastikan. Dia menoleh.

"Maksudmu?" Tanyanya mengerutkan dahinya.

"Tujuanku ke alamat ini." Kataku lagi.

"Aku tau." Jawabnya singkat lalu menoleh lurus lagi kedepan.

Taksi yang kami naiki berjalan menembus inti kota dan melaju ke daerah yang lumayan sepi dan jauh dari keramaian kota. Berbelok ke jalan yang penuh dengan rumah yang bersejejer rapi dengan papan tertulis 'Teresia street'.

Daerah sini nampak sepi dan tenang, beberapa pejalan yang berjalan di trotoar sambil memasang headphone ditelinga mereka, ada juga beberapa pesepeda yang berjalan pinggiran jalan santai menikmati tenangnya suasana.

Tidak lama kemudian, taksi yang kami tumpangi terhenti didepan sebuah rumah berdinding merah dengan bagian depan bergaya prancis, gorden putih menutup jendelan bagian barat halaman dengan rerumputan yang dipangkas rapi, beberapa cemara dan bagasi mobil.

Dengan langkah pelan aku memasuki halaman rumah lamaku. Ketika menginjak rerumputan, ingatan itu terputar. Si Snow kecil bermain dihalaman dengan ponis yang dipotong tak rata. Rasanya aku melihat almarhum ayah dan ibuku yang tertawa bahagia dihalaman ini. Melihat senyuman yang terukir dibibir mereka membuat hatiku hancur, sadar bahwa ini cuman khayalan masa lalu, takan pernah terulang lagi masa - masa bahagia itu.

"Snow?" Jason memegang pundakku, menyadarkan kesadaranku. "Kau baik - baik saja?" Tanyanya. Aku mengangguk pelan.

Kemudian aku dan Jason berjalan menuju rumah itu dan memencet bel yang berada di sisi kanan pintu.

Satu kali..

Dua kali..

Masih tidak ada respon dari pemilik rumah.

"Apa mungkin tidak ada orang dirumah?" Kata Jason berbisik.

"Kita coba sekali lagi." Balasku.

Tiga kali..

Empat kali..

"Apa lainkali saja kita datang?" Kataku putus asa.
Jason tidak berkata apa - apa dan mengetuk keras pintu dihadapan kami.

Klek

Pintu terbuka 1/2. Seorang gadis berkulit putih berambut hitam menatap kami dengan setengah tubuhnya, menatap dengan waspada.

"Siapa kalian?" Katanya.

.

Author pov

Sementara itu..

Berendam sambil mendengar musik klasik adalah hal yang sempurna bagi seorang Arthur. Mengingat apa yang hari ini ia lakukan pada rumah paman Crush. Menakut - nakuti seisi rumah pada subuh hari dengan menggantung babi busuk yang terkuliti dan membiarkan darah babi tersebut bertumpahan di lantai. Lalu menuliskan sesuatu didinding ruang keluarga, Siapa selanjutnya. Teriakan dan tangisan ketakutan membanjiri rumah itu, memberikan rasa puas tersendiri di dirinya. Ia menyeringai, mengingat kejadian pagi ini. Namun ia belum melihat ekspresi dari Snow. Pagi ini Arthur sama sekali tak melihatny.

Ting tong

Suara bel menandakan seseorang berkunjung rumah membuatnya kesal karna harus mengakhiri kenikmatannnya.

Arthur berdiri dan mengikat handuknya erat - erat dipinggangnya, berjalan santai pada pintu rumah pada seseorang yang tak sabar dan memencet bell berulang kali.

Ketika pintu rumah tepat di depannya, ia mengintip pada lubang pintu dan ingin tau siapa tamu yang berkunjung. Mungkinkah tetangga yang menyapanya dengan membawa salmon segar? Atau seseorang yang menawarkan diri untuk dibunuh?

Paman Crush. Ayah kandungnya.

Ia tersenyum kecil lalu membukakan pintu pada ayahnya itu.

"Welcome my father!" Katanya menyambut sambil merentangkan tangannya kesamping untuk memeluknya.

"Berhenti bermain - main, Arthur." Balas Paman Crush dingin.

Tangan Arthur perlahan turun. Sedetik ia menyeringai.

"Silahkan masuk Ayah, akan kubuatkan teh."

"Berhenti berbasa - basi denganku dan jangan menyebutku ayahmu!" Sambung Paman Crush sambil mencondongkan parang keleher Arthur. "Aku tak sudi menjadi ayahmu, anak terkutuk!" Lanjut Paman Crush.

Namun anehnya Arthur tidak menanggapi dan hanya memasang seringainya dan beberapa detik kemudian ia tertawa. Tertawa keras - keras seperti tidak terjadi apapun. Tawanya gergantang mengisi setiap sudut ruangan rumahnya. Namun tawanya sangat mengerikan didengarkan. Apa itu namanya? Tawa yang khas untuk sang pembunuh? Tawa kemenangan?

"Kau tertawa? Apa yang lucu?! Apa aku sedang melawak?" Kata Paman Crush.

"Ya Ayah, ah bukan, Ya Paman. Kau melawak." Balas Arthur.

Paman Crush mendorong tubuh Arthur ketembok dan lebih mempererat pegangannya sehingga parang itu sudah berada di leher.

"Jangan bermain - main denganku, pembunuh." Kata Paman geram.

Arthur menatap dalam mata Paman Crush, mencari - cari ketakutan dalam matanya.

Tiba - tiba Arthur menggenggam sisi tajam dari parang tersebut, memegang erat dan lebih menarik ke lehernya sehingga goresan yang sepertinya sedikit dalam tercipta dan darah merah segar keluar layaknya air yang mengalir di pedang yang digenggamnya.

"Bunuh saja aku! Ya! Bunuh saja! Bunuh saja sekalian anakmu!" Kata Arthur sambil menggenggam erat parang itu ke lehernya hingga ia tidak sadar bahwa tangannya pun terluka.

"Kau benar! Seharusnya kubunuh kau juga bersama wanita jalang itu!" Balas Paman Crush.

Bukh

Arthur melepas genggamannya pada parang itu kemudian melayangkan tinjuan keras ke rahang Paman Crush sehingga ia terjatuh ke lantai.

"Berhenti bermain - main. Aku berharap seorang wanita yang datang membawa soda dan berpesta di siang hari. Tapi ternyata seorang nyawa yang pantas untuk mati." Kata Arthur dengan seringainya yang khas sambil menyapu darah di lehernya.

Paman Crush yang masih syok dengan tinjuan yang cukup keras hingga mungkin menggeserkan rahangnya itu kehabisan energi untuk bangkit dan membalas.

Arthur melangkah untuk mengunci pintu dan menutup semua tirai di rumahnya sehingga ruangan menjadi gelap, hanya sedikit cahaya dari pantulan cahaya matahari pada jendela dan tirai.

"Apa yang-" sepertinya Paman Crush menyadari apa yang ingin Arthur lakukan padanya. Sehingga dengan seluruh energi ia kumpulkan untuk bangkit. Ia bangkit dan menggenggam gagang pintu dan memutar kunci yang terletak pada mulut pintu.

Pang!

Namun Paman Crush terlambat. Arthur sudah memukul kepalanya dengan pemukul bisbol sehingga ia tak sadarkan diri.

.

.

Sementara itu...

Pukul 15.10

"Siapa kalian?" Wanita bermata hitam, berambut hitam dan berkulit putih menatap Snow dan Jason. Ia tidak sepenuhnya membukakan pintu untuk mereka. Menatap ragu, atau mungkin ketakutan. Tatapan yang tak ingin dilihat.

Ia tidak ingin mereka berkunjung. Pergi kalian seperti itu tatapannya berbicara.




To be continued

The Secret HouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang