29: Patokan Bahagia

11.4K 1.2K 73
                                    

"Suaranya Sudah Tidak Terdengar Menyenangkan Lagi"

Setelah bel tanda pulang sekolah berbunyi, barulah Dara bisa bernapas lega. Akhirnya dia terbebas dari suasana canggung antara dirinya dan Davi.

Dara nggak percaya kalau omongannya tadi bisa bikin mereka secanggung ini. Tau gitu dia tadi jangan ngomong gitu.

Sekarang dia jadi malu banget. Malah tadi hampir keceplosan buat nanya jawaban lagi ke Davi. Bilapun ujung-ujungnya dikasih tau sih, tapi tetap aja setelah itu mereka saling diam lagi.

Menurut Dara kalau lagi canggung gini, yang paling jago menghindar itu Davi. Karena Davi nggak butuh-butuh banget ke Dara, beda kalau Dara yang emang butuh Davi banget.

Sebenarnya sepanjang pelajaran tadi, Dara juga mikir buat apa mereka saling diam? Padahal kan itu hal biasa? Mengakui kalau dia bahagia sama Davi.

Mau berpendapat kalau Davi nganggapnya lain, tapi kok kayanya nggak mungkin, mengingat cowok itu yang selalu segala-galanya dimasukin logika. Davi nggak mungkin kan nganggap Dara suka sama dia?

Apa memang selama ini begitu?

Dara menggeleng cepat, kemudian memasukkan segala peralatannya yang masih tinggal di meja ke dalam tas.

Davi tidak menahannya atau sekedar untuk mengucapkan, "Hati-hati." dan "Kalo nyebrang liat kanan kiri dulu." seperti biasanya pun tidak.

Tapi Dara tau, dari sudut matanya, dia bisa melihat Davi yang juga tengah memperhatikannya.

"Gue pulang ya." Pamit Dara, setengah sadar. Lebih tepatnya, dia emang suka lupa kalau mereka lagi saling diam.

"Gue juga seneng sama lo," kata Davi tiba-tiba. "Tapi lo nggak boleh jadiin gue patokan buat bikin lo bahagia. Nggak semua kebahagiaan lo dari gue kok."

Padahal awalnya Dara nggak mengharapkan respon apa-apa dari Davi, apalagi respon yang begini.

"Gue nggak akan selamanya sama lo. Kan udah gue bilang, kita beda. Nggak seharusnya lo jadiin gue patokan dalam hal apapun yang bikin lo seneng." Ucap Davi tanpa mikirin ini gimana perasaan Dara sekarang.

Berantakan, campur aduk, mau denial tapi Davi emang bener.

"Tapi selama kita bareng-bareng, ayo akur terus! Biar makin banyak memori bahagia lo sama gue."

Rasanya Dara mau murka. Serius. Cowok yang ada dihadapannya ini bener-bener bisa membolak-balikkan semuanya. Hatinya, perasaannya, pikirannya. Semuanya.

"Mau gue anter sampe depan gerbang nggak?" tanya Davi yang menyadarkan Dara dari lamunannya.

Dara menggeleng, cepat. "Gue mau ke ruang OSIS, masih ada yang harus dikerjain."

"Ya udah, ayo."

"Jangan ikut." Balas Dara cepat.

Davi mengerutkan dahinya. "Kenapa?"

"Gue mau nangis di sana." Jawab Dara dalam hati, setengah bercanda.

"Oke oke." Davi mengangguk seolah paham, karena kalau Dara diam memang artinya dia serius dengan ucapannya, dia mau sendiri. "Hati-hati, awas kena bola basket."

Dara menghela napasnya, kemudian mengangguk. Secara nggak langsung emang kejadian Sasha waktu itu emang masih membekas jelas dipikiran Davi.

Sepanjang koridor menuju ruang OSIS pikiran Dara kembali mengulang apa yang Davi ucapkan padanya di kelas tadi. Emang Davi tuh suka to the point banget. Nggak bisa sedikit basa basi biar Dara nggak perlu terlalu kepikiran seperti ini.

[DSS #1] : ImaginationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang