19: Efek Melindungi

15.6K 1.6K 140
                                    

"Bagaimana Rasanya Dianggap Menjadi Yang Pertama?"


Sasha baru saja selesai latihan nari untuk lomba minggu depan di salah satu sekolah. Setelah meransel tasnya juga menenteng sweater yang selalu dia pakai setiap kali pergi dan pulang sekolah, ia keluar dari ruang dance.

Selalu saja setiap kali dia membuka pintu ruang dance setelah selesai latihan, dia pasti akan teringat akan Davi yang dulu selalu menyisihkan sedikit waktunya untuk menunggu Sasha selesai latihan, agar mereka bisa pulang bareng.

Sasha mengambil sepatunya di rak sebelah pintu, kemudian memakainya sambil duduk di salah satu bangku panjang pinggir koridor. Dan lagi, ingatannya kembali berputar pada Davi yang selalu rela menunggunya di depan pintu atau di bangku ini.

Sudah sekitar lima belas menit yang lalu Davi berdiri membelakangi pintu yang bertuliskan 'Dance Room'. Tentunya masih dengan seragam basket dan keringat yang membasahi sekitaran dahinya. Bola basket yang ada di tangannya juga sudah berulang kali menyentuh ubin yang dia pijak.

Bosen? Lumayan.

Tapi worth it.

"Duh, maaf lama."

Sebuah suara dari arah belakang, mengalihkan perhatian Davi. Dia memutar tubuhnya, memperhatikan seorang cewek dengan rambut yang digulung asal.

Cewek yang dari awal sudah menarik segala perhatiannya, cewek pertama yang selalu bikin dia kepikiran, cewek pertama yang selalu ada buat dia, selain Mamanya.

"Emang udah selesai, Sha?" tanya Davi yang memperhatikan gimana susahnya cewek yang ada dihadapannya memasang sepatu sambil berdiri."Di sana ada bangku, kenapa nggak sambil duduk sih?"

"Udah." Jawab Sasha dengan napas terengah. "Kamu udah berapa lama nunggu disini?" tanyanya yang sudah selesai memasang sepatunya.

"Nggak lama, paling bisalah aku kuliah sampe S3." Sindir Davi yang di balas kekehan geli dari Sasha.

Setelah menunggu Davi mengganti seragam basketnya menjadi kaos hitam polos dan jaket, mereka melangkah menuju parkiran.

Kalau sekolah udah sepi begini, mereka jadi bebas, tanpa harus saling berpura-pura.

Davi mengulurkan satu helm ke arah Sasha begitu mereka tiba di parkiran. Helm yang memang selalu Sasha pakai saat mereka pergi atau pulang sekolah bareng.

Tapi ditungguin dari tadi, Sasha belum juga menerimanya. Sampai Davi yang sudah duduk di motornya pun menoleh. "Sha?" panggil Davi untuk menyadarkan cewek itu. "Sasha? Mau pulang nggak?"

Sasha yang dari tadi sibuk dengan ponselnya itu pun tersadar. Dia segera mengantongi ponselnya di saku celana olahraganya. "Eh, iya."

"Nih," Davi kembali mengulurkan helm.

Selesai Sasha mengenakan helmnya, dia naik ke atas motor Davi, dan mereka meninggalkan sekolah.

💫💫💫


Kalau satu sekolah saja sudah tidak ada yang percaya dengannya, untuk apa lagi dia bersekolah di sana?

Kalau bukan karena Ayahnya, Nero pasti sudah keluar dari sekolah ini sejak lama.

Bahkan semua siswa juga perlahan-lahan menjaga jarak dengannya. Seakan-akan Nero bisa saja secara tiba-tiba melukai mereka.

Begitu pun dengan kepala sekolah yang berulang kali memberikan peringatan padanya.

Mengatakan kalau tidak selamanya dia bisa menjadikan orang tuanya tameng.

Jangan sementang karena Ayahnya yang menjadi ketua yayasan, dia bisa bertingkah seenaknya.

Padahal nggak begitu.

Nero nggak pernah meminta bahkan memohon ke Ayahnya untuk selalu melindungi dia.

Tapi memang Ayahnya yang bersikeras ingin melakukan segala yang terbaik buat dia. Sampai kadang dia suka kehilangan akal dan melakukan segala hal di atas batas wajar.

Setelah keluar dari ruang kepala sekolah, Nero yang berniat untuk kembali ke kelas, menghentikan langkahnya saat melihat seorang cewek yang tengah berjinjit untuk melepas papan pengumuman yang selama seminggu belakangan ini menggantung di sana. Papan pengumuman yang sebisa mungkin tidak Nero lihat setiap kali dia mau ke kelasnya.

"Yang masang siapa, yang di suruh ngelepasin siapa!" omel cewek itu yang dapat di dengar Nero. "Gue disuruh ngelepas beginian, mau sampe gue jadian sama Zayn Malik juga nggak akan bisa."

"Jadian dulu coba, biar tau bisa atau nggak." Kata Nero sambil membantu cewek itu melepas papan pengumuman itu.

Saat cewek itu menoleh ke arahnya barulah dia sadar. "Oh? Dara ternyata."

Dara jadi malu sendiri sekarang.

"Nih," kata Nero yang langsung memberikan papan pengumuman itu pada Dara.

"Makasih ya, Ro." Kata Dara.

Nero mengangguk. "Gue ke kelas ya."

"IyーEh!" Dara buru-buru mengganti ucapannya.

Nero kembali menoleh ke belakang, ke arah Dara.

"Guru lo udah masuk." Kata Dara random.

Bener-bener random, yang Dara langsung menyesali itu setelahnya. Masalahnya tuh kenapa gitu? Ya terus kalau gurunya udah masuk tuh kenapa?

"Oh udah masuk?" tanya Nero mencoba meyakinkan. "Tadi gue di panggil kepsek makanya telat."

Dara menggukkan kepalanya beberapa kali.

Kemudian, hening.

"Lo kenapa nggak masuk?" Nero nanya balik.

Dara jadi salah tingkah. "Tadi dari jam istirahat gue di suruh ngelepas ini. Tapi karena kelamaan makan, gue baru ngelepas sekarang."

"Lain kali minta tolong Rafly aja. Itu tinggi banget. Lo nggak nyampe."

Dara hanya kembali menganggukkan kepalanya beberapa kali sebelum mereka sama-sama balik badan untuk balik ke kelas masing-masing. "Oh iya!" Dara kembali memutar tubuhnya, begitupun dengan Nero. "Lantai sebelah sana baru di pel, hati-hati." Kata Dara tepat sebelum dia melangkah pergi meninggalkan Nero.

💫💫💫

Davi duduk sendirian di bangkunya. Matanya menatap papan tulis dengan tatapan datar. Dia sudah menyuruh Dara untuk minta tolong saja ke Rafly untuk melepas papan pengumuman itu, tapi Dara malah sok dia bisa sendiri.

Malah Davi dilarang ikut lagi sama dia. Katanya kalau Davi ikut ntar siapa yang merhariin pelajaran? Kalau ada tugas gimana? Karena dia nggak ada temen yang bisa dia tanyain selain Davi, katanya.

Ketukan pintu dari arah depan kelas, menggema. Membuat nyaris seluruh isi kelas memandang ke arah sana.

Tentunya, dengan berbagai tatapan.

"Permisi, Bu. Maaf tadi saya ada urusan dengan OSIS." Jelas Dara dengan napas yang terengah karena dia lari tadi sebelum ke kelas.

"Memang harus di jam pelajaran?"

Dara membeku, dia bingung mau jawab apa karena ini memang salah dia juga.

"Ya sudah, cepat masuk sana."

Saat mendengar itu, Dara langsung menghela napas lega. Dia kembali bilang maaf kemudian menutup pintu, dan berlari kecil ke bangkunya sambil tersenyum ke arah Davi.

Yang disenyumin jadi gemes sendiri.

[DSS #1] : ImaginationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang