16: Playing Victim

14.4K 1.6K 97
                                    

"Kita Berdua Sama"

Akhirnya setelah genap seminggu Nero tidak masuk sekolah, hari ini dia kembali. Bilapun ada hawa beda yang ia bawa setelah ia mendekam di dalam kamarnya cukup lama.

Saat ini dia tengah duduk sendirian di ruang OSIS. Ada seseorang yang harus dia tunggu kehadirannya di sana.

Begitu mendengar suara pintu yang terbuka, Nero mengangkat wajahnya. Tentunya dengan tatapan datar yang otomatis membuat Sasha mengerutkan dahinya.

Sasha meletakkan satu roti berisi coklat keju kesukaan Nero tepat dihadapan cowok itu. "Kamu kenapa sih? Ini aku bawain roti. Pasti belum makan kan?"

Nero menghela napasnya. "Gue mau ngomong." Katanya dengan nada dingin.

Bibir Sasha yang tadi terbuka untuk mengigit rotinya, kembali tertutup. Ada perasaan tidak enak yang mengganggu hatinya. "Ngomong apa?"

"Gue mau kita putus." Kata Nero dalam satu tarikan napas.

"Hah?" Sasha membulatkan matanya, nggak percaya.

Nero tidak mengatakan apa-apa lagi, selain membuang pandangannya ke arah lain, yang jelas bukan ke arah cewek di sampingnya saat ini.

"Ya tapi kenapa?" tanya Sasha. "Kamu juga selama sakit nggak bilang apa-apa sama aku. Ngelarang aku nemuin kamu. Terus sekarang maunya putus. Maksudnya tuh apa?"

"Enggak. Kita emang udah nggak bisa aja."

"Apasih? Yang jelas dong, Nero."

"Ya nggak bisa. Gue udah nggak bisa deket sama lo lagi. Gue nggak bisa ngontrol diri gue lagi. Kenapa sih lo nggak sadar sendiri?" Nero mulai menaikkan nada bicaranya.

Sasha kaget. Dia nggak tau kenapa Nero balik-balik begini. Padahal dia cukup kepikiran akan kondisi cowok itu yang seminggu ini nggak masuk sekolah.

"Gue balik ke psikiater lagi, Sha. Udah dong, udahin aja semuanya. Gue capek."

Sasha mengangkat sebelah alisnya, sebelum dia menoleh ke Nero dan memaksa cowok itu menatapnya. "Jadi udah mau mati sekarang?"

Mendengar ucapan itu, Nero mengerutkan dahinya. Seolah Sasha punya kepribadian yang bisa berubah kapan saja.

Dia menatap Sasha lekat. "Cowok lo... ah enggak... mantan lo itu yang emang udah waktunya mati."

Sasha membisu. Dia paling nggak bisa denger tiga kata itu jadi satu.

Cowok lo, mati.

Pandangan Sasha semakin mengabur. Tangannya yang berasa di lengan Nero mendadak melemas. Enggak, dia nggak boleh keliatan lemah sekarang.

"Terus sekarang kalo gue mati. Berarti itu semua salah lo! Lo yang bikin kita bedua mati, Sha." Kata Nero dengan nada tenang yang bikin Sasha merinding. "Lo sadar nggak sih lo juga bagian dari ini semua. Lo yang bikin gue bertindak sejauh ini?"

Air mata Sasha jatuh menetes, dia menggeleng kemudian berusaha menjauh dari Nero tapi tangan cowok itu menahan pergelangan tangannya.

"Sadar nggak?" tanya Nero, ulang.

Sasha terisak tanpa mengatakan apa-apa. Bukan salahnya. Enggak, ini bukan salahnya.

"Jadi jangan coba-coba playing victim di sini. Kita berdua sama." Tepat saat Nero mengatakan itu, pintu ruang OSIS yang memang tidak terkunci, terbuka.

Nero menoleh, dan melihat Dara yang berdiri mematung di sana.

Dara tidak mengatakan apa-apa selain memperhatikan Sasha yang nangis sambil menutupi bagian dadanya.

"Maaf." Kata Dara yang kembali menutup pintu ruang OSIS dengan tangan yang gemetar.

Dia langsung balik ke kelas dengan perasaan yang campur aduk.

Apa yang baru dia lihat tadi?

Begitu sampai di kelas, Davi udah bangun dari tidurnya karena emang jam istirahat udah selesai.

"Abis dari mana?" tanya Davi setelah Dara duduk di bangkunya dan kembali meletakkan paper-bag berisi origami untuk mading itu di atas meja.

"Serius tadi gue ngeliat seragam Sasha acak-acakan banget." Kata Tania dari arah depan kelas yang mampu di dengar Davi.

Dara menghela napas, berat.

"Hah? Kenapa?" tanya Gavin dari bangku belakang.

"Gue juga nggak tau. Tadi kata temen gue anak sebelah, Sasha sama Nero di bawa ke ruang BP. Tapi seragam Sasha yang udah acak-acakan gitu loh, paham kan lo?"

"Anjir." Sungut Gavin. "Gila apa tuh si Nero?"

Mendengar itu, Davi kembali menoleh ke arah Dara yang menumpukan kepalanya pada lipatan tangan di atas meja, seolah dia menolak untuk mendengar lebih lanjut kasus itu.

"Jadi mereka di ruang OSIS? Begitu?" tanya Tifa.

"ANJAY TIFA NGAPAIN MAKSUDNYA? HAAA? BEGITU NGAPAIN, FAAA?" goda Gavin yang malah membuat suasana kelas menjadi tambah riuh.

Perlahan punggung Dara bergerak, Davi juga bisa mendengar samar-samar isakan tangis cewek itu.

Yang sekarang Davi nggak tau, harus Dara atau dia yang menangis mendengar berita itu.

[DSS #1] : ImaginationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang