36: Hantu Kecil

10.9K 1.2K 66
                                    

"Semua Orang Butuh Di Mengerti. Kamu, Dia, Mereka. Semuanya Ingin"

Seluruh siswa-siswi kelas XI IPS-2 kembali duduk setelah mengucapkan salam selamat pagi pada guru sosiologi yang masuk sangat tepat waktu.

Hawa-hawa dingin mulai terasa, angin sejuk dari pendingin ruangan membuat mata yang semula terbuka lebar, mendadak sayu karena mengantuk. Padahal ini pelajaran pertama, dan masih sangat pagi untuk kembali tidur.

"Dara?" panggil Davi yang memperhatikan pergerakan Dara yang ingin meraih bukunya dari dalam tas. Dara tidak menyahuti apa-apa. Mereka masih perang emosi sejak kemarin. "Gue nggak mau lo ke makam gue cuma buat nanyain tentang itu."

Mendengar itu, Dara langsung menoleh ke arah Davi. Tidak mengatakan apapun selain menatap cowok itu. Ada yang terluka di sana.

Padahal Davi selalu bilang kalau dia udah mati rasa. Dia bener-bener udah nggak bisa ngerasain apa-apa. Tapi menurut Dara tidak.

Seperti masih ada kehidupan di sana. Di matanya, hatinya, pikirannya.

Pernah sadar nggak sih, gimana bahagia sekaligus sedihnya Davi kalau dia udah ceritain tentang Sasha atau orang tuanya?

Pernah sadar juga nggak kalau Davi selalu bisa membantu Dara untuk belajar di kelas. Dia selalu bisa mengikuti pelajaran.

Itu yang katanya udah mati rasa?

"Mau lo tadi nutup semua pintu atau jendela, gue tetap bisa denger. Lo nggak akan tau rasanya jadi gue yang nggak tenang ini. Entah karena gue yang meninggalnya dengan cara tragis atau karena orang-orang disekeliling gue yang terus bahas kejadian ini. Maksud gue tuh, udah. Gue udah nggak mau lagi ini dibahas-bahas. Lo pikir enak jadi gue?"

Pertanyaan terakhir dari Davi benar-benar menohok hati Dara. Sampe dia bingung harus ngasih respon apa.

"Percaya sama gue, Sasha juga nggak tau tentang masalah ini. Dia nggak tau siapa yang nyebarin CCTV itu."

Dara menghela napasnya. Iya, Dara tau emang bukan Sasha. Dara juga tau mungkin Sasha sekarang juga lagi cari-cari siapa pelakunya. Entah hanya untuk sekedar mengetahuinya saja, atau cewek itu ingin berterima kasih pada pelakunya.

Tapi Dara nggak bilang apa-apa ke Davi perihal dia mendengar Safira yang meminta tolong pada orang tuanya agar dia bisa mendapatkan rekaman CCTV Nero itu.

Karena kalau Davi tau, dia pasti bakal makin ngelarang Dara, sedangkan Dara butuh ngobrol sama Sasha, jadi Dara rasa ini emang waktu yang tepat.

"Ra?" panggil Davi dengan nada suara yang bikin Dara tambah pusing karena dia pasti lagi mohon supaya Dara dengerin dia buat nggak datang ke makamnya.

"Kenapa?" tanya Dara. Baru saja Davi membuka mulut ingin bicara, Dara sudah keburu memotongnya. "Kenapa gue nggak boleh ke makam lo?"

"Bukan nggak boleh,"

"Kenapa Sasha boleh, gue enggak?"

"Gue nggak bilang lo nggak boleh datang. Tapi ntar ada waktunya."

"Ya kapan? Kenapa harus nanti sedangkan Sasha bisa datang kapan aja ke makam lo?"

"Karena gue yakin lo nggak siap." Kata Davi pada akhirnya.

Napas Dara memburu, tangannya gemetaran sangking dia berusaha buat nggak teriak-teriak di depan Davi.

Bisik-bisik saja sudah membuat emosinya naik, gimana kalau dia bisa ngelepasin semuanya langsung coba?

"Gue tuh bingung ya sama lo. Kayak lo tuh selalu mikir gue begini, gue begitu, padahal yang sebenarnya gue nggak kayak yang lo pikirin." Kata Dara untuk yang terakhir kalinya di hari itu. Karena setelah itu dia bener-bener nggak ngobrol lagi sama Davi seharian.

💫💫💫

Dara terlonjak kaget saat melihat hantu anak SMP yang akhir-akhir ini lumayan sering dia temui tengah duduk di tangga menuju kelasnya.

Dia baru balik dari toilet, tapi tiba-tiba aja itu hantu anak SMP berdiri didepannya. Sambil senyum.

Cantik..., batin Dara.

Tapi melihat penampilannya, tetaplah bikin Dara ketakutan. Dia tadi bahkan sampai menutup matanya, dan hampir terjatuh kalau tidak segera memegang pegangan tangga.

"Kak Dara, ya?" tanya hantu itu. "Aku Ayla!" serunya masih dengan senyum lebarnya.

Dara bahkan bukan merasa takut lagi sekarang, tapi lebih ke kasian?

Senyum itu? Terlalu cepat untuk hilang dari dunia.

"Kakak mau kemana?"

"B-balik," jawab Dara tergagap.

"Ke kelas? Nggak mau main sama aku aja?"

Dara menggeleng cepat. Demi apapun, dia ingin kabur sekarang, tapi tidak bisa karena Ayla berdiri tepat di satu anak tangga di hadapannya.

Iya, mereka bertatapan sedekat itu.

"Kakak pacarnya Kak Davi ya?"

Dara mengerutkan dahinya. "Kamu kenal Davi?"

Ayla tertawa. "Udah lama!"

"Sejak kapan?"

"Sejak... Kak Davi kecelakaan?"

Dara refleks menganggukkan kepalanya, pelan. "Sering main dong sama Davi?"

"Nggak mau," jawab Ayla. "Kak Davi selalu nggak mau."

"Kenapa? Paksa aja sampe mau." Kata Dara sambil bercanda.

Ayla kembali tertawa. "Jangan, Kak Davi kalo marah serem."

"Masa sih?"

"Dia nggak pernah marah sama Kakak?"

"Emang dia pernah marah?"

"Pernah. Makanya kalo ada Kakak di koridor belakang, pada nggak berani keluar semua." Jelas Ayla. "Disuruh ngumpet sama dia."

"Marahnya gimana?" Dara jadi penasaran kalau Davi marah tuh gimana, karena selama ini yang Dara tau mood Davi tuh cuma seneng, kesel, seneng, kesel, seneng, jutek doang.

Ayla diam sebentar, kemudian dia menggeleng, masih dengan senyum dibibirnya. "Nggak, selama Kak Davi nggak pernah marah sama Kakak, jadi Kakak nggak perlu tau."

Dara tertawa. "Ya ngapain juga dia harus marah sama aku."

"Kalo Kak Davi bilang jangan, mending jangan deh Kak." Kata Ayla yang langsung menyentakkan Dara, seolah Ayla dengan sengaja menegurnya, padahal Ayla tidak tau apa-apa.

"Dia segalak itu ya?" tanya Dara, khawatir sekaligus iseng.

"Nggak terlalu? Dia baik juga kok. Tapi kalo itu Kakak pasti tau ya? Dia kan selalu baik sama Kakak."

Dara menarik senyumnya secara perlahan. Menatap Ayla dengan mata sendunya. Tidak ada lagi dia yang ketakutan menatap hantu kecil dihadapannya ini, semuanya berubah begitu saja.

Kalau aja Dara bisa memeluk Ayla saat itu juga, dia pasti bakal meluk Ayla sambil bilang makasih.

Makasih karena udah mau mengerti Davi lebih daripada dirinya.

[DSS #1] : ImaginationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang