30: Yang Lebih Percaya

11.3K 1.3K 63
                                    

"Melepaskan Dan Kembali Merangkul"

Katanya, melepas sesuatu yang bukan milik kita itu adalah sesuatu hal yang baik. Karena memang tidak akan ada gunanya kita mempertahankan seseorang yang menolak untuk dipertahankan.

Tapi keinginan untuk dia benar-benar hilang dari hadapan kita, itu tidak mungkin. Karena dia tetap ada, di sekitar kita. Memungkinkan rasa yang hilang itu, datang kembali.

Sama halnya seperti Nero. Entah karena hal apa, cowok itu betah dari tadi duduk dihadapan Dara yang sibuk sendiri dengan tugas madingnya. Demi apapun, dari lubuk hati paling dalam, Dara tidak mengharapkan kehadiran siapapun dihadapannya. Baik itu, Nero. Cowok yang dulu dia kagumi.

Tadinya Dara sudah hendak akan pergi. Tapi Nero buru-buru menahannya dengan alasan, dia cuma numpang duduk, jadi sekalipun mereka tidak akan bicara, itu tidak menjadi masalah untuknya.

Karena tidak enak hati, dan merasa jadi manusia paling jahat, akhirnya Dara bertahan di sana. Menyepakati permintaan Nero untuk tidak saling bicara.

Suasana canggung masih tercipta sampai deringan pada ponsel cowok itu, memecah keheningan yang ada.

"Halo," Nero menjawab panggilan tersebut. Matanya masih melirik apa yang Dara kerjakan untuk mading. "Aku nggak tau siapa, Yah. Gimana bisa aku nanya sama orang-orang disaat udah nggak ada lagi yang mau bicara sama aku?" kata Nero dengan napasnya yang mendadak tercekat. "Iya, pasti aku cari tau."

Dara menghela napasnya. Bohong besar kalau dia tidak mendengar dengan jelas apa yang Nero ucapkan.

Nero melempar sampah minuman kalengnya ke arah tong sampah yang hanya berjarak beberapa meter dari tempatnya duduk. Suara kaleng yang beradu dengan tong sampah, membuat Dara terkesiap. Tanpa sadar dia berdecak, dan melayangkan tatapan sinis ke arah Nero.

Kelihatan jelas kalau Nero memang menyesali perbuatannya. Selalu dan memang akan seperti itu. Penyesalan selalu datang belakangan.

Rasa kasihan dan tidak tega tiba-tiba saja memenuhi diri Dara. Fokusnya jadi berantakan. Pikirannya jadi sibuk memikirkan Nero, Nero, Nero. Padahal ada mading yang harus dia kerjakan.

Nero baru akan beranjak dari tempatnya, sampai tiba-tiba saja Dara menyentak spidol warna yang ada di tangannya, hingga beradu dengan meja. Mau tak mau, Nero menghentikan pergerakannya, kemudian menatap Dara dengan pertanyaan, kenapa? Di sorot matanya.

"Lo tuh kalo butuh temen cerita, ya cerita aja." Kata Dara tanpa menatap Nero. "Gue nggak tega liatnya."

Nero diam selama beberapa saat. Pikirannya seakan lambat untuk mengerti maksud dari ucapan Dara.

Dara yang sadar kalau ucapannya tidak di respon, memalingkan wajahnya ke arah Nero. Entahlah, memang rasanya lebih terasa mudah sekarang. Saat dulu untuk menatap Nero saja dia malu-malu... setelah perasaan itu hilang? Dengan gampangnya mereka bertatap muka.

"Lo masih bisa percaya sama gue?" tanya Nero memastikan.

"Bukan percaya, tapi nyoba buat nggak ikut kehasut sama yang lain."

Nero menghela napasnya, kemudian perlahan dia tersenyum. "Makasih, Ra." Katanya tulus. "Tapi gue harus pergi dulu sekarang. Kalau ada waktu, gue pasti cerita semuanya ke lo. Semuanya." Nero meyakinkan Dara.

Dara diam sebentar, Nero... mau menceritakan semuanya... padanya?

Apa Nero sepercaya itu, pada Dara?

"Ya udah, gue cabut ya." Pamit Nero.

Dara mengangguk, pelan.

Setelah punggung Nero sudah tidak terlihat lagi, barulah Dara sadar kalau yang dia lakukan tadi lumayan gila dan berani?

"Ngomong apa sih gue tadiii." Keluhnya sambil menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangan di atas meja.

"Napa neh?" tanya dari sebuah suara yang sudah Dara kenal luar kepala.

"Malu banget gue."

"Kenapa? Nero?"

"Huhu kok lo tau?"

"Tadi gue papasan sama dia."

Dara sebenarnya tidak perlu bertanya akan hal itu. Davi kan hantu. Dia bisa ada dimana aja di sekolah ini. Kecuali toilet cewek, sama UKS.

"Muka lo tadi jutek banget sama dia."

Nah kan. Bilangnya aja tadi papasan, padahal emang sengaja ngumpet nih dia buat nguping.

"Gue tuh sebenarnya masih kesel banget sama dia. Tapi lama-lama malah jadi kasian gitu."

"Emangnya tadi yang nelpon dia siapa?"

"Kayanya Bokapnya."

"Ngomongin apa?"

"Menurut yang gue denger sih, kayanya lagi bahas siapa yang nyebar rekaman CCTV itu." Jelas Dara.

"Susah sih, karena gue juga nggak tau siapa."

Spidol yang baru Dara buka, kembali dia tutup, matanya langsung menatap Davi. "Lo diam-diam nyari tau juga siapa yang nyebarin?"

"Ya gue panasaran siapa yang bisa ngehack website sekolah."

Dara memutar bola matanya, kemudian kembali melakukan aktivitasnya.

Sebenarnya Davi juga enggan mencari tau tentang masalah itu lagi. Baginya apa yang sudah terjadi ya terjadi. Toh dia juga nggak bisa balik lagi kan?

"Emang bener ya dia ngerusakin motor lo?" tanya Dara tanpa mengangkat wajahnya dari lembaran kertas besar dihadapannya. "Lo belum cerita apa-apa tentang Nyokap lo yang nyari Nero waktu itu."

"Nggak ada yang perlu diceritain."

Kalau dulu Dara kesel denger Davi ngomong gitu, sekarang dia malah capek.

Capek karena Davi masih setertutup itu padanya.

Capek karena Davi masih nggak bisa percaya padanya.

Lihat kan? Apa bedanya Nero sama Davi tadi?

Dara aja sampe nggak percaya kalau Nero yang ternyata jauh lebih percaya padanya, dibandingkan Davi.

"Ra, denger gue." Kata Davi tiba-tiba.

"Apa?" Dara masih belum mengangkat wajahnya.

"Liat gue." Pintanya sekali lagi.

Dara menghela napas, kemudian menghentikan aktivitasnya. Dan menatap Davi dengan tatapan seperti biasa, bener-bener tidak ada rasa penasaran di matanya.

Iya, Davi bener. Dara udah capek, dia udah nggak penasaran lagi sama apa yang akan Davi bilang.

"Motor gue baik-baik aja."

"Hah?"

"Nero nggak ngelakuin apa-apa."

"Hah?"

Kembali, rasa penasaran itu kembali lagi.

[DSS #1] : ImaginationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang