32: Yang Mereka Butuhkan

11.9K 1.3K 87
                                    

"Mereka Akan Cerita Dengan Sendirinya"

Dara melirik jam tangan mungil yang melingkar manis dipergelangan tangan kirinya. Masih terlalu pagi untuk dia tiba di sekolah. Pantas saja koridor masih sangat sepi.

Demi memperlambat waktu, dia tidak langsung menuju ke arah koridor kelasnya. Tapi melewati lapangan, perpustakaan, dan kantin dengan sengaja.

Langkahnya mendadak terhenti saat dia melihat Nero yang tengah duduk di salah satu bangku kantin. Sendirian, sambil sesekali meringis saat menempelkan sesuatu di pipinya.

Dara diam selama beberapa saat. Menimbang apakah dia harus menemui Nero atau tidak. Tapi saat dilihatnya Nero sangat kesakitan, akhirnya dia memutuskan untuk menemui cowok itu.

Dia sedikit memiringkan wajahnya untuk menatap mata Nero yang sesekali menyipit, menahan nyeri. Ternyata Nero sedang mengompres pipinya menggunakan es batu didalam plastik bening. "Lo kenapa?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Dara.

Nero menjauhkan plastik berisi es batu itu dari pipinya. Mata Dara membulat saat melihat pipi cowok itu memerah persis seperti habis di tampar, sudut bibirnya juga terlihat memar. "Masih keliatan banget ya?" tanya Nero yang menyadari perubahan raut wajah Dara. "Parah banget emang bokap gue." Desisnya pelan, nyaris tanpa suara.

Dara yang kebetulan mendengar itu, mengerutkan dahinya. "Bokap?"

Nero terkesiap seolah dia sadar kalau tadi dia mengucapkan kalimat fatal yang pasti akan menimbulkan banyak tanda tanya dipikiran Dara. Dengan sedikit terpaksa, dia bangkit dari duduknya. Berniat pergi sebelum Dara bertanya aneh-aneh. "Gue balik ke kelas duluan ya." Dibuangnya es batu yang mulai mencair itu ke tong sampah terdekat.

Dara mengerjapkan matanya beberapa kali. Ditatapnya punggung Nero yang berjalan semakin jauh dengan pandangan menerawang. Hingga dia tersadar akan luka Nero yang masih terlihat jelas, seperti baru. Dan yang dilakukan cowok itu tadi mungkin hanya mengurangi rasa panas yang menjalar ke seluruh wajahnya. Tanpa pikir panjang lagi, Dara buru-buru lari untuk menghentikan langkah Nero. "Tunggu." Katanya begitu dia berdiri tepat dihadapan Nero.

Nero mundur selangkah. "Lo mau ngapain?"

Dara menengadahkan kepalanya untuk lebih dekat menatap luka Nero. "Itu, masih sakit kan?" Dia menunjuk luka disudut bibir Nero dengan telunjuknya.

Nero memalingkan wajahnya ke arah samping. "Nggak."

"Bohong." Tukas Dara sok tau. "Udah, ayo ke UKS."

Nero melengos, malas. "Udah mau masuk—apaan sih, Ra. Kenapa narik-narik!" kesalnya saat Dara udah keburu menarik tangannya dengan sekuat tenaga yang dia punya.

"Berat banget sih, astaga." Dara menyerah. Dia memutar tubuhnya kembali menghadap Nero. "Kalo nggak di obatin, lukanya ntar makin keliatan jelas. Emang lo mau ditanya-tanya sama temen sekelas?"

Nero tertegun. Dia menaikkan sebelah alisnya, menimbang apakah dia akan mengikuti usulan Dara atau tidak. Selain itu, dia juga masih bingung kenapa Dara masih mau peduli padanya, disaat yang lain justru bersikap layaknya mereka tidak saling mengenal?

"Tapi terserah lo sih, kenapa gue maksa banget ya kayanya." Dara perlahan menyadari kebodohannya. "Ah, ya udah deh, gue mau ke kelas." Dara mendadak salah tingkah. Setelah berbalik badan, dia meringis.

"Eh, bentar." Nero menahan lengan Dara, memaksa cewek itu untuk kembali menatapnya. "Oke oke, gue mau." Dia kembali mengulurkan tangannya ke arah Dara. "Tarik lagi."

Dara tersentak kaget, dia menatap tangan dan mata Nero secara bergantian. Sampai pada akhirnya, tawa Nero pecah begitu melihat raut wajah bingung yang kelewat polos itu. "Enggak, bercanda doang gue." Kata Nero diselingi nada bercanda. "Ayo." Ajaknya.

[DSS #1] : ImaginationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang