"Target dimana?" Tanya Shevin.
"Lantai tiga, ruangannya dipojok kiri dari arah lift. Ada dua orang yang jaga kedepan, kita butuh bukti sebelum menangkap dia" Jawab orang di seberang sana.
Shevina menuju lift menuju lantai tiga. Ia ingat saat mempelajari peta mengenai club ini, lantai tiga di peruntukan sebagai kamar, seperti kamar hotel. Orang-orang yang sudah tidak tahan menahan gelombang birahi akan memesan sebuah kamar untuk menuntaskan kebutuhan mereka.
Ada puluhan kamar di sana, dan seingatnya kamar yang berada diujung merupakan kamar VVIP dengan harga sewa termahal. Dari kamar itu kita bisa menikmati pemandangan lautan lepas dengan pohon kelapa dan palem yang berjejer.
Lantai dua fungsinya sama dengan lantai satu, hanya saja di khususkan untuk kelas VIP yang harus membayar lebih tiap ruang yang akan digunakan. Fasilitasnya pun berbeda, ada karaoke dan penari erotis yang siap membakar nafsu. Beberapa penari itu pun tak segan menawarkan jasa lain, seperti menghangatkan tubuh. Yang tentu saja akan dikenakan biaya tambahan.
"Sebuah video cukup kan?"
"Lebih dari cukup"
"Kamar nomor berapa yang kita pesan?"
"023, tepat pintu kedua sebelah kiri lift. Aku sudah ada di dalam"
Dibukanya kamar yang dimaksud oleh rekannya itu.
"Kenapa gak disadap aja? Kan lebih gampang""Masalahnya kita kalah cepat dengan mereka. Sehari sebelumnya pihak mereka sudah mensterilkan tempat ini"
Shevin berdecak kesal.
"Ini nih yang bikin kalian lama naik jabatan, pikiran kalian terlalu dangkal. Harus gue terus yang jalan. Payah""Sialan!"
Tidak menggubris umapatan rekannya itu, Shevin berjalan ke balkon. Di amatinya sekeliling area itu, dalam hatinya ia menghitung jarak yang harus ditempuh menuju kamar si target.
'Aho!* kenapa pesen kamar yang jauh dari target. Sengaja nyusahin gue ini'
Kembali lagi ke dalam kamar dan membuka sebuah koper berisi peralatan khas seorang intel. Shevin mengambil sepucuk senjata api, selusin jarum bius, dua buas pisau, kamera kamuflase kecil, dan sebuah tali yang ia masukkan ke kantung jaket bagian dalam.
Sementara itu rekannya berkutik di depan laptop, mengawasi target lewat kamera kamuflase yang di bawa oleh rekannya yang menyamar sebagai pelayan.
Shevin menuju balkon. Begitu ia memanjat pembatas besi menuju balkon kamar sebelah dengan meniti pada ujung pinggir tembok yang lebarnya hanya sekitar lima sampai enam sentimeter. Sepatunya telah Shevin copot untuk memudahkannya berjalan.
Dia berjalan secepat yang dia bisa sehati-hati mungkin, dengan sepasang sepatu miliknya berada dileher. kamar demi kamar telah Shevina lewati, tinggal satu kamar lagi dan ia akan sampai pada kamar targetnya. Diam sejenak mengistirahatkan tungkai kakinya yang sedikit lelah.
Dilanjutkannya kembali perjalanannya. Dengan langkah lebar sambil berpegangan pada baling-baling AC, menyampingkan serapat mungkin pada dinding agar tidak jatuh kebawah. Jatuh dari lantai tiga cukup menyakitkan sepertinya.
Di panjatnya besi pembatas balkon dengan pelan tanpa menimbulkan suara yang dapat membuat keberadaannya diketahui. Punggungnya menyandar di balik jendela besar yang terbuka. Dari sana dia bisa mendengar dan mengawasi si target yang duduk nyaman di sofa besar nan empuk.
Jendela yang terbuka itu memudahkannya dalam menjalankan tugasnya. Shevin mengambil kamera kamuflase berbentuk miniatur buku dua kali dua sentimeter. Diletakkannya dekat jendela yang mempunyai permukaan rata.

KAMU SEDANG MEMBACA
Painful
Teen FictionShevina Saphire Anggara adalah anak jenius, kapten basket, pengusaha sukses, intelijen elite, dan segudang bakat lainnya. Shevin biasa dia disapa terlalu sempurna untuk anak 14 tahun. Namun, dia tidak pernah diharapkan oleh keluarganya. Dia lelah de...