Sebuah Rahasia

12.7K 513 76
                                    

Kepergian Shevin mematikan suasana di rumah. Semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Rafel yang semakin sibuk dengan kuliahnya, Sheva menyibukkan diri dengan dunia modelnya. Sheva menjadi canggung pada keluarganya sendiri, kumpul keluarga yang diadakan setiap dua bulan sekali selalu memojokan dirinya. Kesalahannya selalu diungkit, dijadikan bahan gunjingan. Ayahnya seperti lepas tangan, tidak membelanya sama sekali.

Sheva pernah marah akan tekanan yang diterimanya, bukannya membelanya Ayahnya hanya diam. Sang Ayah berkata "Ini balasan yang kamu peroleh, kamu baru sehari mengalami ini. Bagaimana dengan Shevin yang merasakannya bertahun-tahun. Bukan hanya kamu yang mendapat balasan, kami semua juga. Jadi, jangan mengeluh"

Lama-kelamaan Sheva tidak tahan, dia lebih memilih menghindar. Setelah Bram memperkenalkan Shevin ke khalayak ramai, banyak orang berbondong-bondong memuji dirinya yang sangat beruntung memiliki anak cerdas seperti Shevin. Kolega-koleganya mengenal Shevin sebagai pebisnis muda yang handal, terbukti bisnis merambah hampir seluruh sektor utama negara. Bisnisnya itupun masih berjalan dengan baik.

Rafel juga dibuat kalang kabut dengan ketenaran Shevin. Beberapa temannya memaksanya untuk mempertemukan mereka dengan Shevin, sebagian mengenal Shevin sebagai pebasket terbaik, sebagian lagi mengenalnya pembasmi tawuran. Kenapa semua orang mengenal adiknya, sementara dia tidak?.

Melisa pun hanya bisa meringis ketika teman-teman grup sosialnya mengenal Shevin. Shevin ternyata aktif dalam gerakan-gerakan sosial, dia menjadi relawan untuk korban bencana, menyumbang besar untuk dana bantuan. Ya Tuhan, anak sebaik ini bisa-bisanya dia sia-siakan.

____°P A I N F U L°____

Shevin menitipkan kunci kamarnya kepada Bundanya. Menilik kebiasaan Shevin yang tertutup pasti tidak alan menyangka Shevin akan memberikan kunci kamarnya secara cuma-cuma. Hanya Bi Asih yang diijinkan mengakses area pribadinya, itupun hanya sesekali.

Sudah cukup lama Melisa menyimpan kunci itu tanpa mencoba membuka pintunya, setiap ingin membukanya ragu menghampiri. Rindu yang membuncah membuat Melisa tidak bisa menahan diri lagi, dengan semangat menggebu-gebu Melisa menaiki anak tangga menuju kamar Shevin.

Bram dan kedua anaknya menatap Melisa yang menaiki tangga tergesa-gesa dalam bingung.

Dua kali bunyi kunci pintu terdengar. Kamar itu gelap, hanya bias cahaya matahari yang melewati teralis atas, tapi tidak cukup untuk menyinarinya. Melisa menyalakan sakelar lampu disamping pintu, terang yang mampu menampak seisi kamar Shevin.

Kasur Queen size berlapis sprei hitam dengan garis merah sebagai coraknya, sama seperti terakhir kali penghuninya pergi. Meja belajar yang berantakan, buku-buku tercecer diatasnya. Sebuah rak buku mini yang sudah melebihi kapasitas, lukisan pohon tanpa daun berisikan foto menyemarakkan kamar itu. Disamping televisi terdapat kulkas mini, bahkan dilangit-langit kamarnya terdapat proyektor.

Melisa menatap takjub kamar Shevin, terasa sangat nyaman meskipun tidak serapi kamar Sheva. Yang membuat Melisa penasaran adalah sebuah pintu putih diukir berbentuk pohon, terdapat celah-celah di antara ukiran itu. Setelah dibuka, lagi-lagi Melisa dibuat terkesima, ternyata sebuah perpustakaan mini. Bukunya beragam, mulai dari esklopedia sampai novel tersedia di sana.

Melisa keluar dan memanggil anggota keluarganya dari lantai atas.

"Ayah, Rafel, Sheva kemari ada yang ingin Bunda tunjukkan kepada kalian" Teriaknya bersemangat.

"Kenapa sih, Bun?" Tanya Rafel segitu sampai di atas.

"Kalian gak akan percaya apa yang telah Bunda temukan di kamar Shevin" Kata Melisa masih dengan semangat yang sama.

PainfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang