Sabtu pagi Shevin sudah berada di gedung olahraga untuk latihan basket. Belum ada orang lain yang datang selain Shevin, bahkan ia datang lebih awal dari petugas kebersihan.
Pukul lima pagi Shevin berlari keluar komplek menunggu angkutan umum dan melanjutkan dengan menumpangi sebuah bus besar yang melewati daerah Senayan. Dia berlari lagi dan membuka gedung olahraga itu menggunakan kunci yang selalu dipegangnya. Pelatih membebaskannya keluar-masuk gedung, karena memang Shevin berlatih lebih keras dibanding yang lain.
Setiap malam Shevin akan berlatih sendirian meskipun tidak ada jadwal latihan. Seringkali ia kembalu berlatih setelah latihan bersama anggota yang lain usai. Semua anggota basket putri tahu akan kebiasaannya berlatih sendiri, maka dari itu mereka sangat menghormati Shevin. Apapun perintah Shevin tanpa banyak bertanya akan mereka laksanakan, meski perintah itu aneh sekalipun.
Pernah sekali saat pertandingan sang pelatih tidak bisa mendampingi dan Shevin lah yang bertugas menggantikannya dalan menyusun rencana permainan. Dan ditengah-tengah pertandingan ia malah mengganti pemain inti dengan seorang junior yang bahkan tidak masuk dalam pemain cadangan, padahal saat itu poin mereka hampir tersusul oleh lawan.
Jika saja pelatih ada disitu pasti mereka berdua akan saling beradu argumen seperti biasa. Pelatih yang keras kepala dan tidak mau mendengarkan masukkan dari anak didiknya, menganggap itu melukai egonya walaupun Shevin benar. Shevina yang bermulut tajam sama kerasnya dengan pelatihnya selalu mengancam pelatihnya akan membuat tim nya kalah jika permintaannya tidak dituruti.
Interaksi mereka layaknya anak dan Ayah kandung.
Dia terus berlari mengelilingi lapangan indoor, Shevin lebih suka latihan di lapangan indoor dibanding lapangan outdoor. Ia benci sinar matahari yang terasa membakar kulitnya, ia hanya berlatih diluar ruangan saat cuaca mendung.
Peluh membanjiri seragam basket yang didalamnya terdapat kaos hitam, ia benci dengan model seragam basket yang harus mempertontonkan bagian ketiak. Bola basket ia dribble sambil berlari, terkadang dikombinasikan dengan dribble silang dan memutar.
"Rajin banget lu jam segini latihan. Jadwal tim putri sore kan?"
Ujar Kapten basket putra, sembari meletakkan tas besarnya."Nanti sore saya gak bisa latihan kak, jadi saya ganti pagi ini"
"Masih kaku aja lu sama kita-kita"
Kevin selaku wakil kapten tertawa.Shevina hanya menggaruk tengkuknya canggung, ia tidak biasa dekat dengan pria. Terlebih lagi pria yang dikategorikan tampan, jika pria yang ada di PMI kebanyakan sudah berkeluarga jadi dia tidak merasa canggung.
"Mau tanding bareng?" Tawar sang Kapten.
"Mau banget!" Sahut Shevin semangat, membuat semua anggota tim putra tertawa.
Kapan lagi bisa berlatih bersama juara nasional basket putra selama lima tahun berturut-turut. Ia bisa belajar banyak dari mereka dan mengembangkan permainan basketnya.
"Gue suka semangat lu. Tapi tunggu kita pemanasan dulu ya, lu gak mau kan kita cidera sebelum pertandingan bulan depan?"
Shevina menganggukkan kepala. Sambil menunggu seniornya pemanasan ia kembali mendribble bola basket mengitari lapangan. Begitu satu menyelesaikan satu putaran ia duduk meminum air mineral yang dibawanya dari rumah, memakan sarapannya dengan tenang.
"Shevin ayo!" Teriak Kevin.
Mereka membagi tim menjadi dua kelompok. Shevin dan Kevin ada di kelompok yang sama, sedangkan Mario sang Kapten menjadi lawan mereka.
Mario dan Kevin berebutan bola basket yang di lemparkan keatas. Mulailah mereka bertanding dengan sengit tanpa menahan diri, meski ada gadis yang menjadi lawannya. Mereka tak sungkan bermain keras pada Shevin dan itu membuat Shevin makin bersemangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Painful
Teen FictionShevina Saphire Anggara adalah anak jenius, kapten basket, pengusaha sukses, intelijen elite, dan segudang bakat lainnya. Shevin biasa dia disapa terlalu sempurna untuk anak 14 tahun. Namun, dia tidak pernah diharapkan oleh keluarganya. Dia lelah de...