Laki-laki Yang Sebenarnya Rapuh

885 115 29
                                    


    Semalam, ia bermimpi. Mimpi buruk yang merupakan potongan kecil dari masa lalunya. Memori yang seharusnya sudah dikubur dalam-dalam itu kini kembali menyeruak masuk kembali ke dalam pikirannya.

    Untung saja Lusi---Ibu kandung Nara---segera membangunkannya dari mimpi buruk itu.

    Kini, di tengah dinginnya pagi, gadis itu duduk di bangku taman dengan sebuah tongkat kayu yang bersandar di samping pahanya. Ia mendongakkan kepala, menghirup udara dalam-dalam, lalu menghembuskannya pelan, Nara tersenyum manis.

    "Cie yang senyum. Manis banget, sih,"

    Tiba-tiba suara itu mengacaukan ketenangannya.

    Ia merengut, "Raaii!" Nara memukul pelan lengan Rai, membuat laki-laki itu tertawa kencang.

    "Apa?" jawab laki-laki itu masih tertawa.

    "Boleh nggak saat ini aku benci kamu?"

    "Galak amat, dih! Tapi, tetep cantik, Ra." Laki-laki itu kembali tertawa saat melihat perubahan ekspresi gadis di sebelahnya.

    "Muka lo merah, Ra." Ucap Rai lagi.

    Spontan Nara memegang mukanya dengan kedua tangannya, ia menahan malu. Sedangkan Rai masih terus tertawa, menganggap semua yang dilakukan Nara saat ini adalah tindakan lucu. Lagi-lagi, tawa Rai menular. Nara jadi ikut tertawa.

    "Eh, Rai." Tawa Rai mendadak terhenti, ia menolehkan kepalanya dan menatap Nara dengan kedua alis hitamnya yang tebal terangkat. "Hm?"

    "Aku pengin deh lihat muka kamu," ia bergumam dan membuat Rai hampir serangan jantung. Entah kenapa, lelaki itu tampak cemas.

    "Emang kenapa?" Rai langsung bertanya.

     "Entahlah, nggak ada alasan khusus. Tapi, aku pengin banget melihat wajah kamu. Aku nggak pernah merasa senyaman ini saat di sebelah kamu, dan kalau aku boleh jujur... suara kamu mirip sama suara seseorang yang kukenal," Nara berceloteh panjang, ia meremas celana hijaunya kuat-kuat, benar-benar tak ingin mengingat orang itu lagi.

    Ia sudah berusaha untuk membenci orang itu, tapi tetap tak bisa menghapus rasa sayangnya.

    Bertahan dengan rasa sayang dan benci itu sulit.

    "Orang yang kayak gue di dunia ini cuma satu, Ra. Kalo lo liat muka gue, lo bakal langsung terpana dan jatuh cinta sama gue," dengan percaya diri yang tinggi laki-laki itu membanggakan dirinya. Nara terkikik geli, kemudian mengubah posisi duduknya menghadap Rai.

    Tanpa aba-aba, gadis itu menyentuh pipi pucat Rai, meraba keningnya, bulu matanya, dan berakhir di hidungnya.

    "Kamu pasti punya muka ganteng, ya," ucap Nara kemudian menurunkan tangannya dan tersenyum lebar.

    Rai mendelik, ia kaget dengan sikap Nara yang mendadak. Semburat merah tipis mulai menghias pipinya, Rai kemudian tersenyum lebar.

     "Jelas lah!" katanya percaya diri.

    "Kalau begitu, coba kamu deskripsikan diri kamu sendiri. Aku mau kenal kamu lebih jauh," kata Nara dengan polosnya ia tersenyum manis.

    "Nara romantis banget sih," ucap Rai. Ia buru-buru mengoreksi kata-katanya ketika melihat perubahan ekspresi Nara.

    "O-oke, oke! Gue punya hidung, mulut, dan telinga, lalu ada dua kaki,"

    "Kalo itu aku juga tahu!" potong Nara sebal, ia membuang nafasnya kasar.

    "Mata gue warnanya hitam, tapi kata temen gue warna mata gue sebenernya cokelat muda, jadi gue nggak tau yang mana yang bener. Banyak kakak kelas yang naksir gue—dulu."

Story Under the RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang