SOROT BALIK 21: Jejak Air

37 5 0
                                    


    "Jadi... kalian berantem kenapa?"

    Nara menatap ke rintikan hujan yang meninggalkan jejak di teras, dadanya nyeri setiap kali mengingat pertengkaran itu. Kata-kata tajam yang diucapkan Luna masih membekas di benaknya.

    "Dia.. aku sebenernya yang memulai." Gadis itu menjawab, Rio memilih untuk mendengarkan.

    "Aku yang mulai mengungkapkan semuanya. Semuanya yang nggak aku suka. Dengan maksud supaya dia sadar, tapi aku nggak bisa nahan untuk nggak ngomong dia itu egois.. jadi, yah. Dia mulai naik darah, dan kita berantem. Aku tanpa sadar nampar dia."

    Rio mengangkat alisnya, ia bergidik. Ternyata perempuan itu mengerikan.

    "Ra, dengerin. Kalau seseorang ngejahatin kamu dan kamu membalasnya, apa bedanya kamu dengan orang itu?" suaranya melembut, bahkan logatnya pun berbeda. Untuk saat ini, Rio beranggapan bahwa Nara tidak cocok untuk di gue-elo in.

    Nara diam, matanya panas.

    "Akan selalu ada orang yang bersikap buruk ke kamu dalam hidup ini. Tapi, kamu harus bersyukur, karena orang-orang itulah yang membuat kamu menjadi kuat."

    Mendengar setiap kalimat yang keluar dari bibir Rio membuatnya tersenyum.

    "Aku jadi lega. Makasih, ya, Rio, untuk nasihatnya." Nara menoleh sambil tersenyum lebar, walau begitu Rio tetap tahu kalau sesungguhnya Nara sangat terpuruk.

    "Hem. Perempuan itu hebat, mau sekacau apapun keadaannya, mereka tetap tersenyum seperti nggak ada beban. Kayak Ibuku, Ibunya Rafa dan kamu." Tangannya terangkat mengacak puncak kepala Nara, hingga helai-helai rambut gadis itu berantakan.

    Dipuji begitu, senyum Nara makin lebar. Ia menepuk-nepuk kedua pipinya kencang sambil bergumam, "Iya! Perempuan itu kuat! Aku harus kuat!"

    "Eh, Ra. Laper nggak? Mau makan mie ayam?"

    Nara mengangkat alisnya, "Boleh. Di mana?"

    "Kedai Ibunya Rafa. Lo belum pernah kan makan di sana? Beuh, mie ayamnya Tante Rika sedapnya nggak ada yang ngalahin."

    Nara mengangguk cepat. Kemudian, mereka berdiri dan melangkah membelah hujan.

    Badai masih menyerang Bandung, anginnya semakin kencang, tetapi tak membuat Nara dan Rio takut untuk melangkah. Walaupun mereka sudah berjalan di bawah payung, percikannya tetap saja membasahi pakaian.

    Tubuh Nara menggigil, tapi hatinya menghangat.

    Ketika sampai di sana, Nara tertegun. Walaupun angin berhembus sangat kencang disertai hujan besar, kedai Mie Ayam milik ibunya Rafa tetap ramai. Pengunjungnya dominan perempuan.

    Rio menarik salah satu kursi dan duduk, ia pun menyuruh Nara untuk duduk di hadapannya. Ia menahan senyum ketika Rafa berjalan ke arah mereka. Laki-laki itu menggosokkan kedua telapak tangannya, "Dingin, ya?"

    Nara mengangguk, lalu matanya beralih ke Rafa yang dengan tampang suram bertanya, "Mau apa?" ia bertanya.

    "Ramah dikit napa, sih, Raf? Kita 'kan pembeli. Apa lagi gue pelanggan setia lo."

    "Heh. Pelanggan setia yang doyannya gratisan," Rafa menyeringai sejenak, lalu ia kembali bertanya. Pada Nara. "Mau pesen apa?"

    "Emm.." belum sempat Nara menjawab, laki-laki yang duduk di sebrangnya memotong, "Kan ini kedai Mie Ayam. Ya, masa kita mau pesen spaghetti?"

    Rafa menarik nafas panjang-panjang, lalu tersenyum. "Minumnya?"

    Nara menajawab, "Air putih aja."

    Sedangkan Rio menjawab, "Teh anget." Mereka menjawab bersamaan, hingga suara mereka bertubrukkan. Untung Rafa mengerti.

    Setelah menghafalnya, laki-laki berdada bidang itu berbalik. Namun, baru langkah ke lima, temannya yang super bawel itu kembali berseru.

    "Lo masih hafal teh anget yang biasa gue pesen, kan?!"

    "Iya!"

    Teh hangat dengan dua setengah sendok gula, warna yang tidak terlalu pekat, dan menggunakan gelas seng.

    "Jangan lupa pake air, Raf!"

    "Kalo nggak pake air namanya bukan teh, blegug." Rafa menahan kesal, wajahnya merah. Setiap pasang mata memandangnya, khususnya para perempuan. Dengan wajah tersipu.

    "Air anget, ya. Bukan air panas!"

    Rafa tidak menjawab. Hanya karena seorang Rio, membuat teh menjadi sulit.

    "Wah, enak banget jahilin si triplek tebal." Rio membuat Nara cekikikan. "Rafa sabar banget, ya, ngadepin kamu." Katanya masih tersenyum geli.

    "Yang harusnya lo puji sabar itu gue, Ra. Ngadepin dia itu susah, lebih susah dari nebak jalan cerita Sherlock Holmes."

    Lagi, Nara tertawa.

    Tak lama dari itu, pesanan datang. Rafa sendiri yang mengantarnya. Kemudian, ia dipaksa Rio untuk bergabung bersamanya. Dan, mereka pun saling berbagi cerita.

***

    Malam ini Nara sulit tidur. Walaupun ia sudah mencoba untuk memejamkan matanya, tetap saja kelopaknya terbuka dengan sendirinya.

    Kejadian-kejadian yang berlangsung hari ini masih terus terngiang di benaknya. Tapi, sesungguhnya Nara benar-benar tidak percaya atas apa yang ia lakukan pada Luna. Rasanya itu tak nyata. Rasanya kejadian itu hanyalah mimpi.

    Akhirnya, setelah sekian kali mencoba untuk memejamkan mata, Nara bangkit dan duduk di bibir kasur. Memandang kaca jendela yang tirainya belum sepenuhnya tertutup. Ada jejak air di sana.

    Jejak-jejak air itu seakan-akan berkata, "Kamu teman yang jahat."

    "Kamu bahkan nggak mencoba untuk mendengarkannya."

    "Kamu bahkan mengabaikan raut sedih yang terpaut di wajahnya."

    "Alih-alih memeluknya, kamu malah menamparnya."

    "Dan kamu seenaknya berkata egois."

    "Bukankah setiap manusia itu memiliki sisi egois masing-masing?"

    "Bukankah kamu sendiri egois?"

    Matanya membelalak. Kalimat-kalimat itu menghantuinya. Tiba-tiba hati kecilnya berkata, "Karena setiap manusia itu memiliki sisi egois, berarti hal itu sudah biasa. Sekarang, hal yang perlu kamu lakukan adalah tidur dan minta maaf padanya keesokan hari."

    Ia tertegun. Benar. Hal yang harus dilakukannya saat ini adalah tidur.

    Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua belas lebih, dan besok adalah hari yang paling melelahkan. Ia tak boleh bangun kesiangan. Dan yang terpenting,

    Besok ayahnya pulang.

    Nara tidak pernah tahu akan ada hal tak terduga yang terjadi besok.

***


HALLOOO!!!!! ADA YANG KANGEN AKU GAAA? :"D

Ga ada ya kayaknya hehe, tapi kalian kangen Nara, Rio, Rafa? Atau kangen Rai? Atau kangen geng sepeda? Udah berapa tahun ya aku ga lanjut ini cerita, maaaaffff!! :"

Aku kemaren baru aja kelulusan kelas 12, dan sekarang udah benar benar free! Jadi bisa lanjut kisahnya Nara sesuka aku hehehe, tapi ga beneran free juga sih... soalnya masih ada SBM, doain aku ya semoga bisa lulus di PTN yang aku inginkan.. Aamiin. :")

OH IYA! Spesial hari ini dan sebagai permintaan maaf juga karena udah buat kalian nunggu lama (kalo ada yg nungguin), aku up dua chapter! Seneng ga? Wkwk ga pasti kan :( 

Okee selamat membaca chapter berikutnya~

Story Under the RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang