SOROT BALIK 12 : Rencana Baru

301 23 3
                                    

[Putar lagu yang ada di media, ya! ]


***

    "Nggak boleh."

    "Tapi, Pa... Nara udah latihan dari kelas sepuluh, dan lombanya tinggal sepuluh hari lagi. Nara udah dipilih sama Bu Ris untuk mewakili sekolah—"

    "Papa bilang nggak boleh, ya nggak boleh!"

    "Nara cuma mau kasih ta—"

    PLAK!

    Gadis itu bahkan belum selesai berbicara ketika tamparan mendarat kasar di pipinya. Wajah putih pucat itu memerah disertai mata yang berkabut. Ini tentu saja sudah sekian kali pria paruhbaya itu bermain tangan, tapi tetap saja rasanya menyakitkan.

    Ia segera mengelus pipinya, dengan tangan kanan terkulai lemas tak bertenaga.

    Nara berusaha sekuat mungkin untuk menahan isakannya. Ia menyandang tas sekolah dan berjalan gontai. Suara sepatunya terdengar menghentak-hentak di lantai.

    Ia sebal.

    Kesal.

    Dan,

    takut.

    "Mau kemana, Mas? Kopinya baru saja selesai ku buat." Itu suara Lusy—mama Nara, ia keluar dari dapur membawa secangkir kopi dengan uap putih mengepul di udara. Meletakkannya di atas meja makan, lalu memandang Bramantyo yang bergegas menuju mobil.

    "Aku ingin menemui gurunya, dia jadi tidak sopan denganku semenjak ikut latihan lomba piano sialan itu." katanya dengan suara tidak keras, tetapi mampu membuat Nara tegang bagai disengat ribuan arus listrik.

    Lah, kok, jadi nyalahin latihan buat lomba piano?

    "Pa... nggak usah ke sekolah, iya nanti Nara bilang sendiri ke Bu Ris untuk membatalkan lomba. Tapi, Papa nggak usah repot-repot ke sekolah.." suaranya bergetar, berusaha untuk tidak terdengar menyedihkan. Sedangkan air matanya mendesak-desak untuk keluar. Gigi-giginya bergemeletuk menahan rasa kesal, marah, sedih, dan kecewa. Sesungguhnya, Nara tidak ingin melihat reaksi guru dan teman-temannya yang sudah mempercayainya.

    Bramantyo berlalu, tak mengidahkan semua ucapannya. Pria itu masuk ke dalam mobil, membanting pintu kuat-kuat. Tentu saja membuat air mata yang sejak tadi Nara bendung langsung keluar.

    "PAPAAA!!" gadis itu berteriak kencang, mengejar mobil Bramantyo sambil terisak-isak. Nara bahkan tidak peduli seberapa terlihat menyedihkannya ia. Tetapi, sayangnya mobil itu sudah melaju jauh menuju sekolahnya—tanpa memperdulikan dirinya.

    Nara berhenti ketika tahu kalau mobil sang ayah sudah tak bisa lagi dikejar, tangisnya membludak.Gadis itu bahkan tak sempat sarapan dan pamit dengan ibunya. Bahkan rambut hitam kecokelatan yang sudah ia rapikan dari tadi pagi terlihat kusut, berantakan, dan tak beraturan.

    "AAARRRRGH!" ia menjambak rambutnya, berteriak geram. Untung saja saat itu jalanan sepi. Jadi, ia buru-buru mengusap wajah dengan kedua tangannya, lalu berjalan menuju sekolah dengan langkah cepat dan nafas memburu.

***

    Dengan gusar, Nara melangkahkan kakinya memasuki halaman sekolah Gallardia.

    Melewati sosok pria paruhbaya berseragam serba hitam yang biasanya ia sapa.

    Mengabaikan semua siswa yang melayangkan tatapan sinis padanya.

    "Kunaon atuh, Neng? Biasanya juga ceria," seorang tukang sapu menyapanya.

    Nara hanya balas senyum, kemudian ia bertanya. "Bapak liat seseorang pake tuxedo masuk ke sini?"

Story Under the RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang