SOROT BALIK 2 : Salam kenal, Nara

662 87 13
                                    

    Normal POV

    "Eh, Ra."

    "Hm?"

    Nara tengah sibuk mengoleskan berbagai warna di papan lukis berwarna putih yang disanggah oleh kayu bercabang tiga di bawah. Ia mencelupkan kuasnya ke dalam warna merah terang, lalu kembali mengoleskannya di kanvas—dan mendadak menoleh menatap Luna yang barusan memanggil namanya.

    "Apa, Lun?" Nara bersuara lagi ketika melihat temannya itu terdiam menatap lukisan senja miliknya.

    Ini sudah dua minggu sejak pertama kali mereka bertemu. Dan sekarang warga sekolah sudah memulai kegiatan belajar-mengajarnya karena MPLS dan berbagai event-event Gallardia sudah selesai.

    Ini adalah hari kedua pelajaran seni lukis yang dibimbing oleh guru paruhbaya berkulit hitam manis.

   Kini, guru itu sibuk mengomentari karya lukis milik seseorang di sana.

    Oka Lukmiyanto. Guru pembimbing seni lukis yang sering dipanggil kakak kelas 'Oka' tanpa embel-embel guru ataupun Pak. Entah tindakan tidak sopan setiap siswa-siswi di sekolah ini tidak diketahui guru lain atau memang Oka menerima setiap murid memanggilnya tanpa embel-embel guru atau Pak.

    Yang pasti, Nara masih menghormatinya sebagai guru dan memanggilnya, Pak Oka.

    "Kamu lihat? Orang yang di sana," bisik Luna dengan mata melirik sosok laki-laki yang gambarnya tengah dikomentari oleh Oka.

    "Yang mana?"

    "Itu, yang gambarnya lagi dikomentarin Oka. Yang duduk di sebelah kanan Rafa," ia memperjelas.

    Nara beralih dari papan lukisnya dan sedikit memicing, menatap Revanzi Siji Nugroho yang tengah menggaruk kepala frustasi karena lukisannya dikomentari Oka sebagai lukisan tidak bermutu.

    "Heh, Rafa! Ajarin temen kamu ngelukis, gih. Dia nggak tau teknik menghidupkan lukisan," celoteh Oka berkacak pinggang sembari melirik lukisan Rafa yang sangat-sangat menawan. Gambar senja yang terlihat benar-benar hidup itu membuat siapapun yang melihatnya betah.

    Lukisan itu benda mati, Oka. Ngapain susah-susah ngidupin lukisan?! Ingin sekali Revanzi berkata seperti itu sekarang, tapi ia tahu mulut pedas milik Oka akan selalu berhasil merobek hatinya. Menghancurkan harapannya. –maksudnya menghancurkan bayangan-bayangan indah tentang nilai lukisannya.

    Nara melihat Rafa menghentikan gerakan melukisnya dan mengubah posisi menghadap Revanzi Siji Nugroho yang terlihat sangat putus asa. Setelah Oka pergi berjalan melihat-lihat karya murid lain, laki-laki itu menggerutu dan berceloteh kecil yang hanya dibalas Rafa dengan senyum tipis.

    "Revanzi?" tanya Nara setelah lama mereka terdiam memperhatikan gerak-gerik laki-laki berkulit putih itu.

    Luna mengangguk dan berdehem kecil, kemudian memulai ceritanya.

    "Orang biasa manggil dia Panji. Dulu di sekolahku, Panji adalah teman dari para brandalan kelas. Walau begitu, aku tahu si Panji orangnya baik dan sering mencairkan suasana. Suatu hari, teman-temannya membuat masalah dan menyangkutpautkan masalah mereka ke Panji. Jadi, seluruh guru ikut memandangnya sebagai brandalan kelas."

    "Eh tunggu, kamu sekelas sama dia, Lun?"

    Luna mengangguk lagi.

    "Lah, terus kenapa bisa gitu? Kok guru-guru bisa mandang dia sebagai brandalan kelas? Emangnya salah dia apaan? Terus dianya nggak ngebantah?"

    Gadis berambut hitam dikucir kuda itu pusing mendengar rentetan pertanyaan dari bibir Nara.

    "Entahlah. Aku nggak tahu kenapa dia nggak ngebantah. Dianya malah acuh nggak acuh gitu,"

Story Under the RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang