SOROT BALIK 7: Rio

461 32 5
                                    

Putar video yang ada di media yaa!

***

    Gue melangkahkan kaki memasuki rumah.

    Rumah gue bisa dibilang sederhana, nggak kecil dan nggak juga besar.

    Sejak ayah meninggal, keluarga gue jadi kacau. Kematian ayah masih jadi misteri, banyak polisi dan rekan kerja ayah bilang kalau dia meninggal bunuh diri di dalam ruang kerja. Tapi, kayaknya hanya gue yang menyimpulkan kalau ayah itu dibunuh.

    Kenapa? Soalnya, mana ada orang mati gantung diri di atas langit-langit tanpa menggunakan kursi? Sedangkan di dalam ruang kerjanya, kursi dan meja terletak jauh banget dari tempat ayah gantung diri. Memangnya badan ayah nyampe, ya, ngaitin tali di langit-langit tanpa kursi?

    Bahkan abang sama ibu juga mengira kalau ayah bunuh diri gara-gara kerjaan numpuk. Mereka, sih, udah ngerelain ayah, tapi gue nggak. Ayah itu orang baik, dia sabar dan nggak suka kerja setengah-setengah, ayah lembut dan beliau adalah orang yang paling dekat sama gue.

    Gue yakin banget kalo ayah nggak mungkin bunuh diri. Dan gue—bukan, kita semua tau kalau ayah nggak pernah berantem sama orang lain, ayah nggak punya musuh, dan ayah selalu bisa nyelesain masalah dengan kepala dingin tanpa perkelahian. Dia itu kepala kantor yang adil. Bukan sama rekan kerjanya aja, sama gue dan abang juga.

    Dan, lo semua bisa nebak. Orang yang ngebunuh ayah adalah orang yang iri sama dia. Orang yang sangat-sangat ingin menjadi kepala perusahaan.

    Untuk saat ini gue lagi mencurigai seseorang, dia yang menjabat jadi kepala perusahaan sejak ayah meninggal dan sampai sekarang. Gue nggak tahu dia siapa dan rumahnya di mana.

    Tanpa ambil pusing, gue masuk ke kamar mandi. Mau cuci muka.

***

    Dalam keheningan itu, yang terdengar hanyalah bunyi air kran yang mengalir. Gue biarin itu tetap tergenang dalam wastafel, sementara lama gue natap bayangan sendiri dalam cermin.

    Kosong.

    Gue itu orangnya nggak pernah benar-benar memikirkan sesuatu dengan larut. Segalanya kadang datang dan pergi terlintas gitu aja. Lalu, mata gue tiba-tiba teralih pada handuk merah yang tergantung di balik pintu kamar mandi.

    Itu handuk milik ayah yang telah tewas beberapa tahun silam. Ah, benda itu mengingatkan gue pada kenangan buruk enam tahun yang lalu. Buru-buru gue menyambarnya dan membuangnya pada keranjang sampah di sudut kamar mandi.

    "Sial.." gue berdesis.

    Mengambil segenggam air dan mulai membasuh wajah. Dingin. Terasa dingin menyelimuti. Detik berikutnya, dengan sengaja gue membenamkan kepala dalam bak wastafel berisi air itu. Berharap hal ini bisa membenamkan juga pikiran gue yang hancur. Biarkan semuanya pergi mengalir bersama air.

    Nggak lama gue mengangkat wajah, menatap kembali bayangan diri sendiri dalam cermin. Air menetes dari tiap ujung-ujung rambut, turun menyusuri wajah dan tubuh. Nafas gue berburu cepat, masih terengah, namun hati gue tampaknya sudah jauh lebih tenang.

    Merasa cukup, lekas gue sambar handuk ungu yang tergantung di balik pintu dan berjalan keluar tanpa melirik handuk merah kesayangan ayah yang sekarang sudah menjadi sampah.

    Walaupun gue sayang dan rindu sama ayah, tapi gue benci sama setiap janji yang ayah ucapkan. Dia selalu nggak bisa nepatin janjinya, sampai dia tewas. Ibu juga nggak suka sama ayah yang mudah banget bilang janji.

Story Under the RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang