Sebuket Bunga

269 16 15
                                    

    Hujan baru saja berhenti membasahi Bandung, cuaca dingin sejak tadi pagi disertai genangan air di setiap sisi jalan. Genangan-genangan itu membuat sepatu basah, bahkan bernoda kecokelatan ketika menginjaknya.

    KECIPAK!

    Bunyi genangan air yang ditampar itu mampu menyadarkan Nara dari lamunan indahnya. Entah itu suara seseorang menampar air atau menginjaknya. Yang pasti, hanya orang bodoh yang melakukannya dengan sengaja. Atau mungkin seseorang menginjaknya tanpa sengaja? Entahlah.

    “E-eh? Kakak yang itu?”

    Suara kecil menggemaskan itu berhasil masuk ke telinga Nara, tak lama kemudian, sebuah benda ringan menimpa pahanya.

    “Kak, ini ada bunga dari Kakak yang di sana.” Gadis kecil itu menunjuk, tapi sayang, Nara tak dapat melihatnya.

    “Iya?” setelah lama terdiam dengan kebingungan yang menggerogoti otaknya, Nara bersuara.

    “Iya.”

    “Bilangin makasih, ya!”

    Tak ada jawaban, yang terdengar hanya suara sepatu sandal yang berlari menjauh.

    “Kak, kata Kakak yang di sana, makasih!” Suara menggemaskan itu jelas sekali terdengar di telinga Nara, akhirnya sambil mendekap buket bunga itu, ia tertawa kecil dengan pipi bersemu.

    Ia tak habis pikir, kenapa laki-laki itu terus-terusan mengirim bunga? Bahkan, hari ini Nara sudah mendapatkan sebuket bunga dua kali, yang pertama tadi pagi dan sekarang laki-laki itu menitipkannya pada bocah kecil.

    Nara menggeleng dengan senyum merekah.

    Kemarin, lama sekali Nara bercerita sampai pukul sembilan.

    Tapi, begitu ia sadar, Rai ternyata tidak benar-benar mendengarkannya bercerita. Laki-laki itu ternyata menelungkupkan kepalanya di balik cangkir kopi untuk memejamkan mata.

    Namun, setidaknya ia sudah mendengarkannya bercerita selama empat jam—walaupun satu jam terakhir dipakainya untuk tertidur.
Jadi, semalam Nara menunggu sampai laki-laki itu terbangun dan mereka kembali ke rumah sakit.

    Kalian pasti bertanya, bagaimana Nara tahu Rai tertidur?

    Karena, Rai mendengkur. Ya, laki-laki itu mendengkur halus. Mengingatnya membuat Nara terkikik geli.

    Namun, angin tiba-tiba berhembus. Menggoyangkan helai-helai rambutnya yang tergerai, seakan-akan tak menyetujui kebahagiaannya. Angin itu menerbangkan daun-daun kecokelatan yang tengah disapu petugas kebersihan, dan menjatuhkan tongkat penolong Nara berjalan.

    Saat ia mendengar suara tongkatnya menggelinding, tubuhnya langsung berdiri dan berjongkok sembari meraba tanah di sekitar bangku. Tapi, ia tak menemukan tongkatnya. Tongkat itu adalah alat bantu saat ia berjalan.

    Nara masih berjongkok, sampai tiba-tiba seorang laki-laki ikut berjongkok di sampingnya dan menyodorkan tongkat panjang ke hadapannya tanpa berkata-kata.

    Lalu, ketika Nara menyentuh tongkatnya, laki-laki itu berdiri dan berjalan cepat ke arah yang berlawanan dengan gedung rumah sakit.

    Belum sempat Nara berpikir lebih jauh, angin kembali menerpa kulitnya yang tipis. Begitu setitik air menetes di wajahnya, Nara langsung bangkit. Ia berjalan cepat, menghindari hujan.

    Dan.. begitu saja.

    Ia kembali menenang masa lalu-masa lalunya yang belum selesai ia ceritakan pada Rai.

Story Under the RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang