SOROT BALIK 11: Rafa

309 28 3
                                    

Ini aku. Jika kau tak suka, 

silahkan diam.

    —Rafa

    Hari ini adalah hari pertamaku di kelas 11. Bulan kemarin, saat pembagian rapot, aku berhasil mendapat peringkat pertama di kelas X-IPA-1. Tapi, tentu saja itu masih belum cukup, buktinya aku masih saja kalah dari Rio yang mendapat juara umum pertama di kalangan kelas sepuluh.

    Dia selalu lebih unggul. Kalau dia bilang dia iri padaku, aku lebih iri padanya.

    Tapi, aku tetap tidak boleh memaksakan kemampuan. Toh, beginilah kemampuanku sejak lahir.

    "BANG RAFAA!"

    Suara maut itu sungguh mengganggu ketenangan di pagi hari.

    "BAAANNGGG!"

    Segera kuraih tas hitam, lalu keluar kamar.

    Saat kakiku melangkah menuruni tangga kayu, suara itu mengecil. "Bang, buruan! Bantuin Ibu," gadis semampai itu berdiri di bawah. Dengan segera aku menuruni anak tangga, melewatinya.

    Dia kembaranku, namanya Antariksa Raya. Banyak orang bilang kalau kita itu mirip. Teman-teman ibu juga bilang kalau Raya itu aku versi cewek. Padahal kami tidak mirip sama sekali. Aku pintar, dia tidak. Aku tinggi, dia tidak terlalu. Aku pendiam, dia tidak. Makanya tadi ku bilang kalau kami itu berbeda.

    "Kenapa nggak lo sendiri yang bantu?"

    "Gue udah ditunggu temen, Bang.."

    "Hm."

    Aku menyahut tanpa menatapnya, bergegas menuju halaman depan. Tempat ibu berada.

    "Selamat pagi, Pangeran."

    Itu suara ibu. Bagiku, dia wanita yang paling kuat di dunia ini. Kulitnya sudah mulai mengkeriput, tapi dia tetap berkata kalau dirinya masih muda. Rambut hitamnya ia cepol, lalu bibirnya tersenyum—menambah guratan kecil di pinggir matanya.

    Aku hanya tersenyum seadanya, malas berbicara. "Rafa bisa bantu apa, Bu?" Tanyaku malas berbasa-basi. Ibu berjalan membawakan semangkuk mie ayam dengan uap panas yang mengepul di atasnya.

    "Sarapan dulu," ucapnya meletakkan mangkuk itu di atas meja. Kursi yang ada di sebelah segera ku tarik dan duduki, menikmati mie ayam buatan ibu yang lezat seperti biasa.

    Ibu membuka warung mie ayam yang selalu laris di kalangan anak muda. Banyak anak kuliahan yang mampir ke sini, memesan mie ayam sampai dua piring lebih dan secangkir es jeruk yang ditambah ibu dengan susu kental manis. Mereka bilang, selain harganya murah, mereka juga bisa cuci mata.

    Jangan tanyakan apa maksudnya cuci mata, karena saat ku tanya, mereka—para mahasiswi—hanya membalasnya dengan senyuman yang tak bisa diartikan. Aku juga tidak mengerti dan tidak ingin mengerti.

    "Ibu, Abang, Raya pergi dulu!" Raya pamit sambil berlari menyusul temannya. Dasar gadis yang tidak tahu sopan santun.

    "Habis makan, kamu langsung pergi sekolah aja." Kalimat itu seakan-akan mengusir.

    "Hm?" aku bersuara pelan, masih sibuk mengunyah.

    "Ayahmu akan pulang sebentar lagi, Ibu nggak mau ada keributan. Lagian semuanya udah siap, jadi kamu nggak usah bantu-bantu lagi." Ucap ibu, tangannya sibuk memotong—maksudnya mencincang daging ayam menjadi bagian yang lebih kecil.

    Ayah? Dia seorang pelaut. Tapi, aku membencinya. Setiap bertatap muka dengannya, membuatku ingin sekali memukuli wajahnya sampai mati. Kenapa? Kalian mau bilang saya kejam? Saya jahat? Tidak. Dialah yang sesungguhnya lebih kejam dan lebih jahat.

Story Under the RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang