Hari ini hujan turun saat matahari bersinar terang. Hujan panas. Kata Bramantyo hujan panas itu menimbulkan penyakit, dan Nara sangat merindukan sosok papanya yang dulu. Sosok pria yang menebarkan kehangatan di keluarganya, sosok pria yang selalu rajin membacakan dongeng-dongeng sebelum tidur, sosok pria yang selalu mengajarinya berbagai macam hal—membuat herbarium, mengumpulkan sayap kupu-kupu, mengamati ulat, membedah kodok, dan sebagainya.
Pria yang dulu selalu menebarkan kehangatan di keluarganya itu sekarang sudah bertransformasi menjadi sosok yang egois, pemarah, dan kasar. Sosok yang selalu sibuk dengan pekerjaan, tidak ada waktu untuk keluarga, pulang ke rumah hanya sesekali—bahkan pernah satu bulan tidak pulang dengan alasan pekerjaan, pulang ke rumah pun ia hanya bisa marah-marah dan tenggelam di ruang kerjanya.
Nara sangat merindukan sikap sang ayah yang kini hilang ditelan bumi.
"Raf, tutup payungnya! Buruan, katanya mau mandi hujan?!"
"Bawel."
"Halah!"
"Ntar sakit, Yo."
"Bodo! Gue udah lama nggak main hujan. Sumpah kangen banget gue sama si hujan."
Suara sayup-sayup itu terdengar menembus dinding kamar Nara. Mendengarnya, membuat gadis itu langsung bangun dari kasurnya dan berjalan cepat menuju jendela kamar. Ia mengintip. Melalui jendela kamarnya yang berada di lantai dua, menghadap ke jalan.
"Yo! Jangan kayak anak kecil. Lo udah kelas 11, dan umur lo udah tujuh belas."
Nara terkikik di balik jendela kamarnya. Ia bisa melihat Rafa yang berjalan di bawah payung hijau dengan alis tebal berkerut tak suka, baru kali ini Nara mendengar Rafa Arandeo mengoceh lebih panjang dari biasanya.
"Kok lo bawel, sih, Raf?" bukannya menanggapi, laki-laki yang basah itu mencibir temannya. Temannya yang berjalan di belakangnya hanya bisa membuang nafas sebal sambil memejamkan mata, ia diam-diam menikmati udara hujan yang sejuk.
"Lagian, kita baru selesai bagi rapot tiga hari yang lalu. Untuk merayakannya, kita harus pesta hujan. Inikan ritual wajib yang selalu kita rayain tiap abis bagi rapot, masa lo lupa?" Rio—si laki-laki yang mencak-mencak di tengah hujan itu berbicara dengan suara lantang.
Temannya tak menanggapi, masih memejamkan matanya dengan langkah pelan.
"Oi! Tidur sambil jalan. Serem lo, Raf." Celetuk Rio kesal karena tak ditanggapi, membuat lawan bicaranya terpaksa membuka mata.
Rafa menatapnya sinis, ia menyipitkan mata.
"Gue suka bingung sama cewek-cewek yang ngefans berat sama lo yang nggak ada manis-manisnya. Lo jarang senyum—kecuali di depan kamera. Lo irit—eh pelit kata. Tatapan lo selalu sinis ke semua orang. Nggak pernah ngurusin hidup orang, tapi paling seneng ngurusin anjing gede yang mirip serigala kalo ngeraung—"
"Diem atau gue panggil Shiro."
Rio terdiam saat Rafa memotong kalimat super panjangnya. Yah, kalau teman karibnya itu sudah berkata seperti itu ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain diam. Dan itu tentu saja membuat Rafa menahan senyum.
Shiro? Dalam bahasa Jepang artinya putih, sama seperti warna bulu anjing Rafa yang berwarna putih salju. Rafa tahu kalau Rio sangat-tidak-suka dengan anjing. Ah, atau kata yang tepat adalah takut. Rio sangat takut dengan anjing. Larinya akan sangat kencang kalau sudah bertemu anjing.
Dan yang selama ini selalu membuat Rio menderita saat mampir ke rumah Rafa adalah Shiro. Anjing berbulu putih itu adalah penjaga rumah Rafa, dan Rafa pernah berkata kalau Shiro adalah first-lovenya. Gila? Memang. Untung saja teman yang seperti Rafa hanya ada satu di dunia ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Under the Rain
Teen FictionMasa lalu akan tetap ada. Kamu tak perlu terjebak terlalu lama di dalamnya. Tapi apakah cinta mampu memaksamu berdamai dengan masa lalu? Pada kisah ini, kamu akan bertemu laki-laki yang selalu berdiri di bawah hujan. Laki-laki yang tak mau menyeb...