Hujan dan Sebuket Lili

1.1K 138 37
                                    

Banyak orang berkata bahwa Desember adalah bulan hujan. Memang benar, hampir setiap hari hujan turun akhir-akhir ini.

Dan Nara sangat membenci hujan, ia tidak bisa keluar dari kamar rawat rumah sakit. Ia tidak bisa berjalan-jalan menikmati udara sore, ia tidak bisa mendengar suara bising orang-orang yang berlalu lalang di taman rumah sakit, ia tidak bisa mencium aroma bunga pukul 4 yang tertanam di sekitar taman belakang.

Padahal sekitar seminggu lagi ia akan pulang ke rumahnya. Dan sebelum itu terjadi, ia ingin menikmati hari-harinya di rumah sakit.

Ada orang yang bersedia mendonorkan matanya untuk Nara. Sebentar lagi Nara akan memiliki mata baru. Ia akan segera bisa melihat lagi. Ia tidak sabar ingin melihat wajah orang-orang di sekitarnya. Terutama wajah ibunya yang sangat ia rindukan, wajah adik kecilnya yang sekarang pasti sudah bertumbuh.

Lalu, ia juga ingin melihat wajah dokter Alvin, wajah kak Riska, dan yang pasti wajah Rai. Laki-laki aneh itu selalu membuatnya tersenyum saat ia memikirkannya.

Oh iya, Nara membenci hujan bukan hanya karena ia tidak bisa jalan ke taman saja.

Gadis itu memiliki banyak alasan untuk membenci hujan, dan hal paling utama yang dibencinya dari hujan adalah hujan turun saat kematian ayahnya.

Hujan kerap dikaitkan dengan kesedihan.

Dalam banyak film, terutama film bertema cinta yang dulu sering ditonton Nara sembari menangis tersedu-sedu, hujan selalu hadir ketika para tokoh mengalami momen menyedihkan, penantian yang sia-sia, perpisahan, patah hati, atau kehilangan seseorang yang disayangi. Seperti Nara yang sering kehilangan hal berarti dalam hidupnya.

Begitu pula dalam buku-buku fiksi senada, hujan memiliki peran yang sama. Menemani sosok-sosok kesepian yang menyusuri jalan sunyi kesendirian.

Jurnal-jurnal di dunia maya pun berubah biru kala butir-butir air tercurah dari langit, dalam seketika, muncul ribuan tulisan pendek yang menyayat hati para pembaca, menggugah rasa haru dan memancing senyum pilu.

Bahkan, Charlie Chaplin, lelaki paling lucu sepanjang masa yang pintar memancing tawa, senang berjalan di tengah hujan karena dengan begitu tidak akan ada yang melihatnya menangis.

Hujan menutup matahari dengan gumpalan-gumpalan awan kelabu yang bergelayut berat, mengubah langit biru yang ceria menjadi muram.

Hujan menyapu titik-titik bintang, juga memberi udara dingin, membasahi tanah hingga becek, dan menyebabkan sepatu mahal berbahan beledu berbecak cokelat.

Hujan juga menghentikan berbagai acara yang menyenangkan di ruang terbuka-festival, piknik, kencan.

Barangkali itulah sebabnya mengapa hujan akrab dengan kekecewaan, frustasi, kesendirian dan air mata.

Namun, Rai menyambut hujan dengan cara yang berbeda.

Laki-laki itu menyukai hujan. Ia akan bersorak, berteriak, serta berlari keluar saat hujan mulai turun. Ia bahkan tidak takut sakit—padahal penyakit yang dideritanya bisa saja menghilangkan nyawanya.

Rai selalu tersenyum saat hujan. Ia tak pernah mengeluh saat jejak-jejak air itu turun dari awan, ia bahkan selalu menikmatinya. Baginya bermain bersama hujan itu dapat menenangkan hatinya, menghilangkan frustasi, dan ia dapat melupakan semua masalahnya sejenak.

Hujan adalah sahabat sejatinya. Tak ada yang bisa membuatnya nyaman selain aroma, udara sejuk, serta suara gemerisik air yang dimiliki hujan.

Laki-laki aneh. Nara membatin dengan senyuman tipis di bibir merah mudanya.

"Nara ngapain senyum-senyum begitu? Mikirin apa, sih?"

Suara berat itu segera membuyarkan lamunannya. Nara dengan enggan menolehkan kepalanya menarik sebelah tangan kanannya yang menyentuh kaca jendela. Gadis itu mengerucutkan bibir, ia kenal suara siapa itu.

Story Under the RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang