Bunga bakung putih yang tertanam di sudut-sudut pagar rumah Nara kini membuka kuncupnya, memperlihatkan jejak embun di setiap kelopaknya.
Bersamaan dengan mentari yang bersinar redup, gadis itu keluar dari halaman rumah. Berlari mengejar adik kecilnya yang sudah jauh di depan.
Sudah hari ke lima teman-teman kelas Nara bersikap aneh, mereka menjauh dan mengucilkannya. Setiap kali ia lewat di depan teman-teman kelasnya, atau saat ia memasuki kelas, mereka semua langsung melempar tatapan sinis dan berbisik-bisik seolah ia adalah alien yang memiliki wajah paling buruk.
Bahkan, saat ia tengah mempresentasikan hasil tugasnya di depan kelas, tak ada satupun orang yang benar-benar memperhatikannya. Kebanyakan dari mereka mengobrol, beberapanya sibuk menulis apa yang ia presentasikan—tanpa berniat melihatnya. Hanya sang guru yang memperhatikannya dengan serius.
Saat itu, ia baru menyadari bagaimana rasanya menjadi Cesa yang sering dicemooh semenjak gosip tentang ibunya menyebar. Gadis yang dulunya adalah primadona sekolah, terkenal dengan kecantikan dan kepintaran luar biasa, serta hati yang baik dan kepopuleran yang melebihi tim basket itu kini hanyalah seorang gadis biasa yang diperlakukan layaknya alien asing di kelas.
Maka dari itu, saat Nara memasuki kelas, ia langsung menghampiri meja Cesa yang terletak di depan meja guru. Tanpa memperdulikan mata penjuru kelas yang kini menatapnya tak percaya.
Dan tanpa sadar, tatapan tidak suka kini terpancar dari mata Luna.
"Pagi!" sapa Nara dengan wajah cerah seperti biasa.
"Pagi, eh?" gadis dengan rambut panjang terurai itu kini mendongakkan kepalanya, menatap aneh Nara yang tiba-tiba menyapanya. Mata Cesa memancarkan kebingungan. Hari-hari sebelumnya, seluruh orang tak ada yang mau menyapanya—termasuk Nara yang hampir tidak pernah bergerak sejengkal pun dari kursinya ketika jam istirahat tiba.
"Lo.... udah tahu 'kan semua gosip tentang gue?" tanya Cesa sedikit ragu. Suaranya serak dan kecil, bibir tipisnya kini tampak kering dan tak ada lagi polesan lip gloss warna merah muda di sana.
Nara mengangguk, masih dengan senyum yang mengembang.
"Terus... lo nggak benci sama..." suara gadis itu semakin kecil, "..gue?"
Dan kini senyuman itu melebar, membuat Cesa terbingung-bingung melihatnya. "Ngapain benci sama kamu? Toh, yang sekarang ada di hadapan aku kan Cesanira, bukan Ibunya."
Kalimat itu tentu saja membuat Cesa tertegun, raut wajahnya membuat Nara memamerkan cengiran yang ceria.
Wajah dan cengiran itu... membuatku ingin percaya dia..
Cesa kini menunduk, menyembunyikan senyum tipisnya. Ia senang, karena masih ada orang lain yang bisa menerima dirinya. Masih ada orang lain yang tidak menyamakan ia dengan ibunya. Masih ada orang lain yang peduli.
"Nanti istirahat, ke kantin bareng, ya?"
Ajakan dari Nara barusan, memaksa Cesa menganggukkan kepalanya. Dan detik itu juga, Nara tahu bahwa Cesa tidak seperti yang lain.
***
"Heemm... terus sampe sekarang kalian nggak teguran?"
"Ya.. gitu. Aku sih bisa maklumin, tapi hati aku nggak."
Kini dua gadis itu tengah sibuk berbincang sambil memakan hidangan yang barusan mereka beli di kantin. Keduanya duduk di kursi paling ujung yang ada di kantin ini, tampak menjauhkan diri dari jangkauan para murid.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Under the Rain
Roman pour AdolescentsMasa lalu akan tetap ada. Kamu tak perlu terjebak terlalu lama di dalamnya. Tapi apakah cinta mampu memaksamu berdamai dengan masa lalu? Pada kisah ini, kamu akan bertemu laki-laki yang selalu berdiri di bawah hujan. Laki-laki yang tak mau menyeb...