SOROT BALIK 17: Awal dari Hujan yang Panjang

161 14 5
                                    

    Kelopak mata itu berkedut, alisnya sedikit memberikan reaksi. Beberapa detik kemudian matanya membuka, menampakkan iris cokelat gelap yang beberapa jam ini bersembunyi.

    Nara terdiam, menarik nafas panjang-panjang dan menghembuskannya pelan. Yang dilihatnya pertama kali adalah dua punggung laki-laki duduk membelakanginya.

    Nara yang kesadarannya belum seutuhnya kembali berusaha memejamkan matanya lagi, karena ia merasa sedang bermimpi.

    Tapi, saat memejamkan matanya, yang muncul adalah air hujan, payung dan jaket yang terpental jauh, lalu...

    Nara terkesiap bangun, ia buru-buru memegang hidungnya. Tapi, untung saja tidak ada darah membekas di sana. Lalu, matanya membulat ketika dua kepala itu memutar menatapnya.

    Ia sudah benar-benar sadar sekarang.

    "Udah sadar?" Rio dan senyumnya.

    Suaranya terdengar serak, ujung-ujung rambutnya basah—begitu juga seluruh pakaiannya. Belum sempat Nara mengangguk, Rafa kembali mengalihkan pandangannya ke depan. Menatap titik-titik air yang belum juga berhenti.

    "Lain kali, kalo nggak bisa pulang sendiri bilang. Kita bisa antar lo sampai rumah." Rafa berucap dengan nada ketusnya yang berat. Walau begitu, terlihat jelas ia mengkhawatirkan kondisi teman sekelasnya. Rafa adalah tipikal laki-laki yang sulit mengungkapkan suasana hatinya.

    Lalu, Rio mengangguk dengan bibir bawah sedikit maju. Ia meniru kebiasaan Nara mengangguk. Dan itu lucu.

    "Lo pingsan lama banget, tau!" ketika Rio bilang begitu, Nara buru-buru melihat arloji putih yang melingkar di tangannya.

    Pukul 16:30.

    Dan mereka pulang sekolah pukul 14:45. Hampir satu jam setengah ia pingsan. Wajahnya bersemu.

    "Ngimpiin apa, sih? Nyenyak banget." Lagi-lagi Rio berceletuk, tapi Nara tak menjawabnya. Ia hanya menjawab dengan senyum kecilnya.

    "Eh, iya, Mas Ilham mana?"

    "Pulang." Rafa dengan jawaban singkatnya yang lagi-lagi terdengar ketus.

    Ia hanya mengangguk, kemudian pipinya semakin memerah. Dua laki-laki itu benar-benar setia menunggunya sampai sadar.

    Sunyi sesaat.

    "K-kenapa kalian nggak pulang?" pertanyaan yang benar-benar konyol itu keluar dari bibir Nara. Kegugupan mulai menjalari tubuhnya.

    "Konyol." Rafa segera menjawab. "Lo kira kita bakal ninggalin cewek yang lagi pingsan sendirian di pondok yang sepi kayak gini? Bener-bener konyol." Sepertinya si pangeran es benar-benar kesal. Tapi, Nara menganggapnya sebagai bentuk kepedulian.

    "Kita nggak sejahat itu, Ra." Rio masih menatapnya. Di matanya ada kelegaan bahwa gadis itu baik-baik saja.

    Sunyi lagi. 

    Kali ini panjang.

    Hanya terdengar suara siulan angin dan rintik hujan yang belum juga berhenti. Bau tanah yang bercampur air hujan mulai tercium di hidung Nara. Ia menyukainya. Kini, Nara mengerti mengapa mereka menyukai hujan. Seandainya saja ada yang menjual parfum berbau hujan—phetrichor—ia ingin sekali membelinya. Siapa tahu ia bisa menarik perhatian dua laki-laki itu. Ups.

    "Hujannya sedikit mereda. Mau pulang?"

    Rafa berdiri, ia menatap Rio dan Nara secara bergantian. Tanpa menunggu jawaban, laki-laki itu memakai jaket Rio yang basah, mengambil tas Nara.

Story Under the RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang