SOROT BALIK 9: Secangkir Teh Penghancur Suasana

346 32 0
                                    

[PUTAR VIDEO YANG ADA DI MEDIA, YAA!]


    Nara's POV

    "Kenyangnyaa~" itu suara Luna.

    "Wih, makasih, Nji! Lo emang sahabat sejati gue." Dan yang ini suara Arya.

    "Hm." Deheman sok cool itu dari Panji.

    "Makasih, Panji. Lain kali traktir kita lagi, ya." Ucapku dengan senyum lebar.

    Kutatap mereka satu-persatu. Aku tidak pernah merasa sesenang ini selama di SMP dulu. Teman-teman SMP-ku, tidak ada yang klop denganku. Dan mereka semua malah mementingkan diri sendiri ketimbang orang lain.

    Luna berdiri, dan kami mengikutinya. Lalu, kami berjalan hendak keluar dari kantin yang pengapnya minta ampun. Bukan, bukan! Kantin ini sebenarnya bersih dan dingin, tetapi gara-gara penuh dengan murid-murid, rasanya udara saat ini benar-benar langka.

    Bau keringat anak-anak yang baru selesai olah raga juga menambah kepengapan disini. Aku benar-benar ingin segera kabur dari sini. 

    Tapi, gara-gara mataku melihat orang itu, kakiku mendadak berhenti melangkah. Membiarkan Luna, Arya dan Panji berjalan mendahuluiku.

    RIO!

    Aku ingin sekali memanggilnya, tapi lidahku kelu. Susah sekali digerakkan.

    Laki-laki itu berjalan dengan muka murung, mengabaikan teman-temannya yang sibuk tertawa di depannya. Ia masih memakai seragam olah raga dengan lengan pendeknya yang digelung sampai bahu.

    Otot-otot kecilnya kelihatan. Dan aku bisa melihat kalau lengan Rio belang. Bagian yang tertutup lengan baju itu tampak lebih putih dari kulit aslinya yang sekarang.

    Aku melihatnya membuka tutup botol air mineral, meneguknya sampai tegukan ke tiga, lalu mengguyur rambutnya sendiri. Ia menyisir rambut hitamnya ke belakang, tetesan-tetesan air turun dari rambutnya.

    Aku tersenyum sesaat, Rio pasti kepanasan. Telinganya memerah.

    RIO!

    Sekali lagi, hatiku berteriak ingin memanggilnya. Tapi, lidahku tetap saja susah digerakkan. Aku masih terdiam menatapnya. Tiba-tiba Rio menoleh, dan mata hitam bulatnya itu bertemu dengan mataku!

    Satu detik.

    Dua det—

    Tidak sampai dua detik, dia segera membuang wajah dan berjalan melewatiku. Astaga, Rio. Seburuk itukah aku? Sebenci itukah kamu denganku sampai-sampai melihat wajahku saja kamu nggak mau? Asal kamu tahu, rasanya lebih menyakitkan dari patah hati.

    Tes.

    Tes.

    Air mata itu meluncur begitu saja, basah, menggenangi wajahku.

    "Ra! Nara! Kamu ngapain diem di situ? Masih laper?" suara Luna membuyarkan semuanya. Aku menoleh, lupa mengelap air mataku. Dan ia kaget bukan main, Luna langsung memegang kedua bahuku dan berkata, "Ra? Kamu kenapa?"

    Aku langsung menggeleng cepat, kuelap air mataku kasar. Tapi, air mata sialan itu tetap tidak mau berhenti. Dia terus turun menetes dan mengalir di pipiku, dan berakhir di lantai.

    Aku tidak sesenggukan, ataupun bahuku bergetar. Tidak sama sekali. Hanya saja, air mata itu terus turun dari pelupuk mataku. Seakan-akan mengeluarkan semua rasa sakit dan gundah yang sejak tadi kubendung.

    Hatiku masih sakit. Seperti ada lubang kecil yang sekarang berubah menjadi semakin besar gara-gara orang itu. Tidak, rasa sakit ini belum seberapa dengan rasa sakit yang Rio pendam. Kehilangan anggota keluarga yang sangat disayangi lebih menyakitkan dari ini.

Story Under the RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang