Sisi lain

23 0 0
                                    

Seminggu setelah kejadia penusukan itu berlalu, aku mulai melanjutkan kehidupan ku tanpa ardan tentu nya.

Aku dan dia seperti orang yang tidak saling kenal. Jangan kan untuk bertegur sapa, senyum pun tidak pernah.

"Lo mikirin apaan sih ?" Tanya natalia yang sedari tadi kebingungan melihat sikap ku. Aku hanya terus bermain dengan pikiran ku. Pikiran yang entah kemana ujung nya.

Seperti biasa aku makan di kantin yang mengarah ke lapangan basket. Ah, aku melihat pemandangan itu lagi. Laki laki yang selama tiga hari menemani ku di rumah sakit. Laki laki itu sedang menatap ku. Kami saling menatap, lekat dan penuh makna. Aku tidak bisa mengalihkan pandangan ku dari nya, tatapan itu tatapan lirih. Melihat dira aneh, natalia ikut mengarahkan tatapan nya ke arah ardan. Dengan spontan dia mengguncang bahu ku. Aku hampir terjatuh karena perlakuan nya itu. "Lo apa apaan sih nat, sakit tau."aku emosi hampir saja menusuk kan garpu di mangkuk bakso ku ke perut nya kalo dia bukan teman ku. "Ya elo aneh liat deh tuh bakso udah dingin ngapain sih liat ke lapangan basket ?" "Yee suka suka nat. Kan gue yang makan jadi lo yang repot. Hehe"

Tentu nat tidak akan tau masalah yang terjadi karena aku memang meminta ke ardan untuk merahasiakan nya.

Aku terkekeh melihat sikap childist nya teman ku.

Ardan sedang melihat dia yang dari tadi memperhatikan ku. "Gue harus apa dir ?" Ucapnya lirih tatapan nya memelas.

Dia mengingat percakapan nya kemarin dengan abang nya ardi, percakapan santai sampai percakapan masalah hati dan dia harus.. ah sudah terlambat. "Lo tau kan dira udah gue incer beberapa tahun ini ? Dan gue liat lo sama cewek yang udah gue sayang beberapa tahun ini. Gue gak minta lebih dan. Jauhi dira! Itu pun udah cukup" ucapnya bukan dengan nada memohon tapi dengan nada memerintah. Ardan memang tidak pernah bisa melawan abang nya.

Semua ucapan yang ardi ucapkan mau gak mau harus dia laksanakan. "Gue harus melepas sesuatu yang bahkan belum gue mulai sama sekali" ucap ardan seperti sedang berbicara dengan diri nya yang lain. Karena tidak fokus tiba tiba sebuah benda bulat dengan kecepatan diatas rata rata berhasil mengenai nya. Dan sebuah erangan kesakitan terdengar sangat kencang. "Aaaarrrggghhhhhh" tanpa ada ancang ancang dika dan tama segera pergi dari lapangan yang disaat seperti akan terjadi bencana besar. "Eh lo berdua mau kemana hah ?" Ucapnya yang mengambil kerah baju tama dan dika. Mereke hanya terkekeh melihat ardan yang kepala nya sedikit merah karena ulah mereka.

"Hahahaha itu kepala lo kenapa ?" "Gak usah banyak bacot lo berdua. Ngapain ngelempar bola ke kepala gue ?" "Abis nya kita berdua panggil panggil lo ga nengok, yaudah terpaksa gue pake cara ini buat nyadarin lo." "SIAL!" ardan meninggalkan mereka berdua, dia heran kenapa bisa sampai bersahabat dengan mereka berdua. Tingkah mereka melebihi dari anak kecil.

Bel jam terakhir berbunyi, aku dan natalia masuk ke kelas untuk ikut pelajaran terakhir. "Dira" aku menoleh ke sumber suara, suara ardan. "Em, iya ka ?" Tanya ku ragu. "Gak apa apa kok" ucapnya dan langsung berlalu meninggalkan aku dan natalia yang terbengong melihat sikap kakak kelas yang tampan tapi juga menakutkan. Ardan tau tindakan dia sangat mengheran kan. Dia sendiri pun bingung kenapa tadi bisa memanggil dira. "Sumpah lo bodoh banget dan" ucapnya dan pergi berlalu.
Di depan gerbang sekolah dira dan ardan telah menunggu seseorang yang sangat ingin melihat dua orang itu. Ya, bimo..

**
Jangan lupa vote dan comment nya.

KAMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang