Feby berlari mengejar penjual es krim keliling sambil memanggil dengan keras tapi tidak mau berhenti juga. Ia lelah berlari dari rumah kakek sambil berteriak dan cuaca memang sedang kemarau, panas sekali.Di lihatnya penjual es krim tadi, masih saja mengayuh sepedanya. Saat Feby memanggil abang es krim dengan berteriak lagi, abang penjual es krimnya juga berteriak.
'Aaa, aduh ampun, dek! Ampun!'
Ia berlari kearah abang penjual es krim itu, dan ternyata seorang bocah laki-laki sedang menembakan batu ke arah abang penjual es krim menggunakan ketapel. Bocah itu ada diteras rumahnya yang besar.
'Mr. Ice cream, dia mengejarmu dan berteriak memanggilmu dari tadi. Apakah kau tidak mendengarnya?' tanya bocah laki-laki itu dengan sedikit cadel.
'Adek manis mau beli es krim?'
Feby mengangguk.
'Mau rasa apa, dek?' tanyanya-abang penjual es krim lagi.
'Aku mau rasa coklat sama rasa vanila, bang.'
Kening abangnya berdarah, mungkin terkena batu yang ditembakan oleh bocah laki-laki itu tadi.
'Kamu punya obat merah sama plester luka? Kening abang es krimnya berdarah gara-gara kamu tuh.' Feby berbisik kepada bocah laki-laki itu sambil menunjuk kening abang penjual es krim.
Bocah laki-laki itu melihat kening abang penjual es krim dan berlari ke dalam rumah besarnya.
Dari dalam rumah besar itu, keluar dua orang berpakaian suster dan ayah juga ibunya.
'Apa anda baik-baik saja? Apakah anak saya melukai anda?' tanya ayah dari bocah laki-laki itu.
Ternyata bocah laki-laki itu sangat mirip dengan ayahnya, hanya matanya saja yang berbeda.
'Papa, lihat! Keningnya terluka. Cepat ambil P3K di laci dapur!' kata ibunya memerintah bocah laki-laki itu.
Bocah laki-laki itu hanya diam saja melihat kebawah. Wajah dan telinganya menjadi merah. Mungkin dia menahan untuk menangis.
Kemudian bocah laki-laki itu pergi kedalam rumah besarnya, dan kembali menghampiri ibunya dengan membawa kotak P3K.
'Tidak apa-apa, bu. Saya baik-baik saja.' kata abang penjual es krim sambil tersenyum menenangkan.
'Alexander Devan, cepat minta maaf kepada bapak penjual es krim! Cepat!' kata ayahnya bocah laki-laki itu dengan tegas.
Bocah laki-laki itu meminta maaf dan air mata menggenang dikedua bola matanya. Wajah bocah laki-laki itu tambah memerah. Mungkin sebentar lagi dia akan menangis.
'Ayah, aku sudah meminta maaf pada Mr. Ice cream, sekarang ayah jangan marahi aku lagi.' dan setelah mengucapkannya, bocah laki-laki itu menangis.
Benarkan apa kataku tadi, dia akan segera menangis. Dalam hati Feby bangga akan tebakannya yang benar, tetapi ia kasihan melihat si bocah laki-laki menangis. Ini juga salahnya.
Feby juga meminta maaf pada penjual es krim, kemudian mendekati si bocah laki-laki.
'Maafin aku juga ya, kamu jadi dimarahi ayah kamu. Ini, es krimnya untuk kamu. Terima ya sebagai permintaan maaf dariku.' ia menarik tangannya dan menaruh es krimnya di tangan bocah laki-laki.
'Jangan nangis lagi, ya.' Feby mengelap air mata si bocah laki-laki menggunakan kedua telapak tangannya.
Ia tersenyum kearah si bocah laki-laki, dan si bocah laki-laki membalas senyumnya sambil mengangguk.
'Namaku Alexander Devan. Siapa namamu, nona?' tanyanya sambil mengulurkan tangan.
Feby menjabat uluran tangannya.
'Namaku Feby Montesa Vealliu, bukan nona.'
Orang-orang disekeliling kami tertawa mendengar perkataanku, Dev-bocah laki-laki itu juga tertawa.
'Apa ada yg lucu? Kenapa kalian tertawa?'
'Nona itu sebutan untuk gadis muda sepertimu, gadis kecil yang manis.' jawaban itu yang diberikan oleh ayah Dev.
'Sudah mengerti, nona?' ibu Dev menggoda.
'Mau ikut masuk ke dalam rumah kami, nona?' tanya ibu Dev.
Feby tersenyum dan mengangguk pelan.
'Bagus, ayo kita main di kamarku. Aku punya banyak mainan.' kata Dev sambil memperlihatkan gigi susunya yang rapi.
Feby memperhatikan tangan Dev yang berlumuran es krim vanila bercampur es krim coklat.
'Dev, es krimnya mencair.'
'Ouhh, mama tangan Dev jadi lengket sekarang.' Dev memonyongkan bibirnya.
'kau hanya tinggal mencuci tanganmu, sayang. Tidak perlu mengadu sama mama, dan jangan kolokan. Kamu sudah berumur 8 tahun, sayang.' Dev mengangguk lemas.
'Aku akan mencuci tanganku dulu, By. Ini sangat lengket.'
'aku harus menunggu kamu disini.'
'Tidak, masuk saja ke dalam. Suster Ren akan mengantarmu ke kamarku.'
'Biar mama saja, Dev. Mama ingin mengenal nona manis ini juga.' ibu Dev tersenyum dan mencubit pipi Feby gemas.
'Ayo, sayang. Aku akan memperkenalkanmu dengan Paula. Oh, dan selamat datang dirumah kami.' kata ibu Dev sambil menggandeng tangannya.
-*-
Ponsel Feby berdering sebentar lalu berhenti. Ada 6 panggilan tidak terjawab dari Dev dan 2 panggilan tidak terjawab dari ibu, juga beberapa pesan dari Dev.
Ia melihat jam ternyata pukul 8 pagi.
Kemarin, setelah sampai dirumah kakek Feby langsung ke kamarnya di atas. Kakek memang sengaja menyiapkan sebuah kamar untuknya, karena kakek pernah bilang,
'suatu saat kau akan berada dirumahku lebih dari tiga hari.'
"Sepertinya perkataan kakek itu menjadi kenyataan." Ucapnya sambil tersenyum pahit.
Ponselnya berdering lagi.
Feby menggeser tombol merah dilayar. Itu panggilan dari Dev. Jika ia menerima panggilannya, pasti Dev akan banyak tanya.
Pesan masuk.
Dimana? Kenapa tidak sekolah?
Dev.
Benarkan?
Sedang sakit. Jangan ganggu.
Aku akan ke rumahmu nanti. Lekas sembuh, By.
Dev.
Balas atau tidak?
Aku butuh sendirian.
Sudahlah, abaikan saja.
-12 Februari 2017-
KAMU SEDANG MEMBACA
Be Twice [Completed]
Romansasahabat berlawanan jenis, memang tidak akan selamanya murni sebagai sahabat. Si gadis sederhana, sahabatnya yang sombong, dan sebuah nama dari mimpinya.