13

152 6 0
                                    


"Jadi ini rumah kamu, Fino?"

"Iya, ini rumah gue."

"Ooh, kamu anaknya tante Reina?"

"Iya gitu."

"Berarti kamu udah punya tunangan?" tanya Feby terkejut.

"Eeh, belom. Sembarangan aja kalo ngomong. Gue anak kedua. Gue punya abang, dia yang udah ditunangin. Bukan gue."

"Ooh kirain, maaf ya, Fin."

"Iya gapapa." Fino meminum soft drinknya.

Suara teriakan laki-laki dewasa bergema dikamar Fino. Laki-laki dewasa itu mendekat dan memeluk Fino.

"Alfino ade gue yang gendut! Lagi ngapain lo? berduaan sama cewek lagi."

"Elo, bang. Nih kenalin By, abang gue Alva. Bang, nih temen sekolah gue Feby."

Dua orang yang dikenalkan itu saling menatap terkejut satu sama lain. Feby melihat Alva dari atas sampai bawah. Dia menyadari bahwa orang yang dilihatnya diujung lorong tadi ternyata Alva.

"Lo kenapa ada disini?" tanya Alva padanya.

"Aku tadi menghadiri pesta tante Reina."

"Lo diundang langsung?"

"Bukan, lebih tepatnya aku datang bersama Om David."

"Oh, Alexander. Ya ya ya gue kenal mereka. Si prince arogan dan otoriter itu."

"Maksud kamu?"

"Alexander Devan. Sahabat lo yang brengsek."

"Bang, lo ngomong apaan sih? Kayaknya lo benci banget sama Dev?"

"Inget waktu gue berantem di sekolah lo?"

"Iya, gue masih inget."

"Itu gara-gara gue lihat dia tidur sama tunangan gue, Bella." kata Alva santai seperti itu bukanlah masalah.

Feby menatap kosong lantai balkon. Dia berfikir kenapa Dev bisa melakukan itu? Dia tidak pernah seperti ini. Dia orang yang baik dan perhatian padanya. Tapi itu dulu sebelum dia mengenal Bella.

"Kapan kejadiannya, bang?"

"Sehari sebelum berantem."

"Tadi aku juga melihatnya." kata Feby dengan suara tercekat.

"Lo liat dimana?" Alva penasaran.

"Di sana." jari telunjuk Feby mengarah ke kamar sebelah.

"Sialan!" geram Alva marah.

"Jadi tadi lo didepan kamar itu.."
Fino tidak meneruskan perkataannya. Feby menangis lagi mengingat kejadian tadi.

-*-

"Ceritain ke gue. Semuanya." Alva memegang tangan Feby dan duduk berlutut didepan gadis itu. Feby menceritakan semua yang dia lihat.

"Jadi lo cinta sama dia?" Alva bertanya pada gadis di depannya.

Fino keluar dari kamar tidak ingin ikut campur, menyisakan mereka berdua di balkon kamar.

"Iya, aku mencintainya." jawabnya jujur.

"Lo masih mau walaupun dia kayak gitu?" gadis yang ditanya menggeleng pelan.

"Denger, By. Gue kenal sahabat lo yang bajingan itu. Dan gue yakin dia lagi dibutain sama nafsunya. Parahnya lagi itu wanita yang sama, Bella. Sekarang sahabat bajingan lo itu lagi tergila-gila sama dia. Gue juga pernah ngalamin itu. Tapi itu ga selamanya terjadi." Alva mengeratkan pegangan tangannya pada gadis di depannya.

"Liat gue, sekarang gue udah muak sama dia. Kalo bukan gara-gara dia hamil waktu itu gue ga akan mau terikat sama dia."

"A-apa?" gadis itu terkejut.

"Iya, Bokap Bella dateng ke kantor bokap gue dan bilang kalo gue udah bikin anak satu-satunya hamil. Bokap gue yang panik langsung beli cincin berlian dan ngadain pertunangan minggu depannya."

"Jadi sekarang dia lagi hamil, Al?" Alva mengangguk tanda iya.

"Ya Tuhan."

"Tapi gue bukan ayah dari bayi itu, By."

"Maksud kamu?"

"Gue selalu pakai pengaman dan ga bakalan mungkin dia bisa hamil kalo sama gue." wajah Feby jadi merona menahan malu karena pembicaraan mereka.

"Terus kamu pasrah aja ditunangin sama dia?" tanya Feby penasaran.

"Ya ga juga. Gue ngebantah itu bukan anak gue. Tapi si jalang itu licik, By. Dia sengaja merekam adegan ranjang gue sama dia buat ancaman. Bokap gue itu terlalu takut namanya tercoreng, akhirnya bokap gue juga ngancem gue." Alva menunduk sedih.

"Aku rasa kamu bisa bebas, Al. Sekarang aja dia sama Dev."

"Hah, nanti juga nyesel tuh anak! Kayak dulu di Amerika." kata Alva menerawang.

"Amerika?" tanya Feby bingung.

"Gue sahabat Alexander Devan, dulu. Sekarang dia musuh gue. Tenang aja By, gue ga akan nyerang dia kalo dianya ga macem-macem."

"Pasti karena Whitney persahabatan kalian hancur."

"Lo tahu darimana?" tanya Alva bingung.

"Tante Nesa yang cerita semuanya."

"Oh, jadi lo udah tahu."

"Iya, aku kan tinggal di mansion keluarga Alexander."

"Hah? Lo serumah sama Alex?" tanyanya terkejut.

"Cuma serumah, tapi beda kamar kok. Mungkin aku akan tinggal disana sampai besok siang." Feby berkata sambil menunduk.

"Tenang, By. Gue bakal jagain lo." Feby mengangkat wajahnya dan melihat Alva yang tersenyum tulus padanya.

"Makasih, Al." mereka saling tersenyum satu sama lain.

-*-

Tok tok tok

"Iya, sebentar." aku menutup dus terakhir sebelum membuka pintu kamar.

"Tante Nesa, ada apa?" tanyaku to the poin.

"Ayah kamu ada di ruang tamu, sayang. Katanya mau bertemu kamu."

"Iya, aku segera kesana. Makasih tante."

Aku menutup pintu kamar dan memakai seragam sekolah,  bergegas menemui ayahku di bawah.

"Selamat pagi, Ayah." mencium tangan ayahku dan duduk disampingnya.

"Kamu ayah tunggu di rumah tidak datang. Darimana saja, By? Ayah khawatir."

"Aku lupa, yah. Maaf." jawabku menyesal.

Ayah menghela nafas dan memegang pundakku.

"Ayah dipindah tugaskan ke proyek pembangunan gedung lain, By. Ayah mau kamu ikut ayah."

"Memangnya tempat kerja ayah yang ini dimana?"

"Di Kanada. Mungkin memakan waktu lama, bisa bertahun-tahun ayah disana. Makanya ayah menyuruhmu datang ke rumah. Ini yang ayah ingin bicarakan semalam. Atasan ayah menelpon tadi subuh, menanyakan keputusannya, karena sudah tidak ada waktu lagi maka ayah putuskan untuk berangkat minggu depan."

"A-apa? Minggu depan?" aku terkejut.

"Kepala konstruksinya mengalami kecelakaan, jadi mau tidak mau ayah yang menggantikannya."

"Bagaimana dengan ujian sekolahku, ayah?"

"Itu dia masalahnya. Tapi sampai kapan kamu akan tinggal disini, By? Tinggal saja di rumah bibi Maria yang tidak jauh dari sekolah. Ayah tidak enak kamu terus-terusan tinggal disini, By."

"Aku akan pulang ke rumah saja, yah."

"Ya sudah kalau begitu. Ayah sudah ditunggu di kantor." ayah berdiri dari duduknya, aku juga melakukan hal sama.

"Iya, hati-hati ayah." aku mencium tangan ayahku.
















-30 Juni 2017-

Be Twice [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang