Chapter 1

391 28 36
                                    

Akbar melihat Ratih yang sedang membereskan berkas-berkas di kamarnya. Memasukkan beberapa  kertas ke dalam stopmap yang berwarna merah. Perempuan  berumur sekitar 40 tahun itu tampak serius, memastikan apakah dokumen tersebut sudah lengkap atau belum.

Akbar hanya diam bersandar pada pintu. Ia menatap ibunya dengan kedua tangan yang ia lipat didepan dada. Sebenarnya Akbar tidak mempunyai niat sama sekali untuk melanjutkan pendidikan. Ia sudah lelah melihat ibunya yang setiap hari bekerja mengumpulkan pundi-pundi rupiah hanya untuk ia sekolah.

Perihal ayahnya, saat ini ia berada di dalam sebuah lapas di kota Bandung akibat kasus narkoba yang ia alami.

Tidak ada sosok  ayah di kehidupan  Akbar. Di saat teman-temannya membanggakan ayah mereka, ia justru sangat membenci laki-laki  tersebut. Bahkan saat ibunya melahirkan adiknya Andin, sosok ayah itupun tak hadir.

Sebenarnya Akbar juga sudah mencari lowongan pekerjaan. Namun ia belum memberitahukan masalah ini pada ibunya. Ia sudah tau, bahwa ibunya jelas akan menolak dan tidak mengizinkan dirinya untuk bekerja. Namun hal ini terpaksa ia lakukan demi kelangsungan hidupannya.

Ia akui hasilnya memang tidak seberapa dibandingkan yang ayahnya dapatkan dahulu. Tapi setidaknya ia bisa membantu perekonomian keluarga.

"Bu, ngapain sih?"

Akbar mengambil berkas yang dibawa ibunya dan meletakan di meja.

"Akbar, dengerin ibu kali ini. Kali ini aja kamu nurut apa kemauan ibu." pinta Ratih.

Ratih hanya ingin anaknya tidak senasib dengan dirinya. Apalagi, Akbar termasuk siswa berprestasi. Penampilannya memang terlihat. Akbar bahkan pernah memenangkan olimpiade matematika tingkat kabupaten pada kelas delapan. Namun dengan penampilannya yang sedikit berandalan, membuat orang tak yakin dengan kemampuan yang ia miliki. Ia hanya ingin Akbar menjadi orang yang sukses di kemudian hari.

"Tapi Akbar capek tiap hari liat ibu kaya gini. Biarin Akbar kerja ya bu. Andin aja yang sekolah. Lagian Akbar juga bosen sama pelajaran."

Akbar merajuk, Ibunya hanya tersenyum lalu menggeleng.

"Siapa tahu nanti kamu jadi direktur atau orang sukses?"

"Ibu jangan ngelantur deh, masa orang kaya aku gini jadi direktur. Dari tampang mana Akbar yang mirip direktur?"

"Do'a ibu itu mustajab. Bukannya diaminin malah protes. Udah itu bawa berkas-berkas kamu yang ibu siapin. Kamu juga ganti baju. Kita berangkat sekarang."

Akbar menghela napas. Sungguh sulit membujuk ibunya dalam hal ini.

"Sebenarnya yang mau sekolah ibu atau aku sih?" Gumannya.

Seragam berwarna putih biru itu melekat pada tubuhnya. Laki-laki berumur 15 tahun itu melangkahkan kakinya, menyusuri jalan setapak. Lokasi sekolah yang akan ia daftari tidak begitu jauh. Dengan nilai ujian nasional yang memuaskan, Akbar bisa saja mendaftar pada SMA favorit yang ada di kotanya. Namun hal itu sama sekali tidak terbesit di benaknya. Sesekali ia menendangi barang-barang kecil yang ada di jalan. Satu kerikil yang ia tendang pun mengenai kaki ibunya.

"Akbar, ayo cepetan. Malah nendang ibu pake batu."

Akbar terkejut saat ibunya menarik lengannya untuk mempercepat langkah.

------

Akbar duduk di antara banyak siswa yang menunggu giliran untuk dipanggil. Ia tidak habis pikir mengapa ibunya sangat bersemangat untuk mendaftarkan Akbar sekolah, padahal ia tidak memiliki niat sedikitpun untuk kembali berurusan dengan buku dan pelajaran.

Akbar melihat sekeliling sampai ia terfokus pada satu titik. Seorang pria agak tua yang duduk dengan seorang gadis. Mereka begitu asyik mengobrol. Akbar yakin ia adalah ayah dari gadis tersebut. Mereka begitu akrab. Sesekali pria tersebut mengeluh pucuk kepalanya. Rasa iri tiba-tiba datang dalam dirinya. Kapan terakhir ia bicara dengan ayahnya? Ia bahkan tidak ingat.

"Adzkia Khanza Zunairoh." Gadis itu berdiri ketika namanya dipanggil. Namanya seolah baru terdengar di indra pendengarannya. Dari penampilan yang Akbar lihat, ia sangat berbeda dengan pendaftar lainnya. Sebuah jilbab biru yang tidak terlalu besar menutupi bagian kepala hingga bagian dada tidak membuat kecantikannya berkurang sedikit pun. Menurut Akbar ia tampak lebih anggun.

Akbar mengikuti arah pandang kemana gadis itu berjalan.

"Wah! Selamat nilai IPA-nya 10. Selamat datang, aku harap kamu bakalan nyaman disini."

Gadis itu hanya tersenyum kikuk ketika dipuji.

"Makasih kak," jawabnya lalu meninggalkan ruangan. Akbar masih menatap gadis itu lekat.

"Akbar Fajrian Sujatmiko."

Akbar mendongak ketika namanya dipanggil.

Bisakah ia mengganti namanya? Atau membuang embel-embel Sujatmiko di belakang namanya? Ia sangat membenci jika seseorang memanggil nama lengakpnya. Bagi Akbar, namanya hanya cukup Akbar Fajrian titik. Ia tidak pernah menganggap ada tambahan di belakang nama tersebut.

Akbar menandatangani beberapa lembar kertas yang diberikan panitia.

"Silahkan tanda tangan disini, bu."

Akbar melirik kertas yang berbentuk kuitansi tersebut. Mata Akbar dibuat melongo melihat nominal yang tertera disana. Satu juta dua ratus? Ini hanya untuk uang seragam saja, belum uang SPP, buku, uang gedung, dan uang tambahan lainnya. Mungkin bagi orang lain nominal itu belum seberapa. Tapi untuknya itu termasuk jumlah yang banyak. Jika ia tahu akan seperti ini maka ia tidak akan mau diajak ibunya.
Setelah menyerahkan beberapa lembar kertas berwarna merah tersebut, mereka berdua keluar.

"Bu, kan Akbar tadi udah bilang, mending Akbar bantuin ibu aja. Liat deh, baru masuk aja udah diminta satu juta lebih. Belum lagi kalo Akbar udah jadi siswa disana. Uang buku, uang semester. Kita batalin aja bu."

"Akbar, ibu capek ngomong sama kamu. Daripada kamu protes dari tadi, mending kamu bawain kain seragam ini biar nanti dijahit di tempat bu Nining."

Akbar menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil berdecak sebal.

"Akbar mau ke toilet bentar."

Akbar berjalan sambil mengamati ruang-ruang yang berjejer rapi. Bangunan-bangunan itu didominasi warna krem. Luas juga sekolahnya. Namun sayang, toiletnya tidak strategis. Batinnya.

Akbar tersentak saat tubuhnya menabrak sesuatu. Sebuah kerutan muncul pada dahinya, ternyata ia menabrak gadis yang ia amati tadi.

Akbar mengulurkan tangan menawarkan bantuan. Gadis itu tidak membalas uluran tangan Akbar. Ia berusaha berdiri sendiri. Akbar mengamati tangannya, apakah ada yang salah dengan tangannya hingga ia tak mau menerima bantuannya?

"Maaf aku gak sengaja."

Ucap gadis tersebut sambil membersihkan roknya yang kotor.

"Gak papa kok, gue juga salah gara-gara gak liat jalan."

Akbar masih memandanginya walaupun gadis itu menunduk.

"Lain kali kalo jalan gak usah nunduk, kaya di depan ada apaan aja."

Gadis itu tidak menjawab. Akbar lalu pergi melewatinya.

"Tunggu."

Sebuah senyum terukir di wajah Akbar tatkala gadis itu memanggilnya. Akbar berbalik dan kembali menatapnya.

"Kamu tau letak toilet gak?"

Terbesit di pikiran Akbar untuk mengerjai gadis tersebut, terlihat dari senyuman nakal yang ia pancarkan.

"Gue juga lagi nyari kok, kalo kamu mau pipis bareng aja."

Akbar berusaha menahan tawanya saat melihat ekspresi gadis tersebut. Ia yakin jika gadis ini memikirkan hal yang macam-macam. Padahal ia hanya bercanda.

"Gimana?" tanya Akbar

"Eh, enggak jadi deh. Aku udah ditungguin sama ayah aku. Duluan."

Gadis itu melewati Akbar tanpa menatapnya. Tawa Akbar langsung lepas.

"Lama banget sih. Emang toiletnya di ujung dunia ya?"

Akbar yang ditanya justru tersenyum.

"Ini anak ditanyain malah senyum-senyum sendiri. Kenapa sih? Tadi aja marah-marah."

"Gak papa kok bu, sini Akbar bantuin bawanya."

-----

Teka Teki TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang