Akbar tengah duduk di kursi yang berada di teras rumahnya. Pandangannya lurus menatap ke arah langit. Pagi ini memang terlihat cerah, hamparan luas yang berwarna biru tersebut hanya dihiasi beberapa awan. Saat ini ia tengah sendirian, ibunya telah berangkat untuk berjualan kue, sekaligus mengantar Andin ke TK. Sedangkan cafe tempat ia bekerja baru dibuka jam 9 pagi.
Entah, Akbar semakin dibuat penasaran terkait siapa yang membiayai pengobatan Andin dan dirinya ketika di rumah sakit. Jika ditotal, mungkin uang tersebut bisa mencapai 15-an juta. Ia telah bertanya berkali-kali dengan Faisal tetapi tetap saja Faisal tidak mau menjawab. Ia sempat mengira bahwa keluarga Faisal yang melakukannya, tetapi Faisal mengatakan bahwa keluarganya tidak terlibat sama sekali. Siapapun itu, Akbar berjanji akan membalas kedermawanannya suatu saat nanti.
"Eh, melamun aja." Seketika lamunannya terbuyar akibat kedatangan Faisal. Faisal yang memakai seragam sekolah tersebut langsung mengambil posisi untuk duduk pada kursi kosong di samping Akbar.
"Eh elu sal, belum berangkat?" Faisal yang ditanya hanya tersenyum. Menampilkan deretan giginya seraya mengambil sesuatu yang ada di dalam tas ranselnya.
"Nih, gue punya hadiah buat lo." Faisal menyerahkan sebuah amplop. Sebuah kerutan terukir pada dahi Akbar. Berpikir sejenak, bukankah dia sudah dikeluarkan dari sekolah? Namun mengapa ia masih mendapatkan surat?
Akbar membuka surat tersebut. Memahami maksud dari setiap paragraf yang ada.
"Sal, ini," Akbar tidak mampu melanjutkan perkataannya. Yang benar saja. Pada surat tersebut keputusan untuk ia dikeluarkan telah dicabut.
"Itu muka dikondisikan kali!" Faisal menggerakkan jarinya dan mendorong dahi Akbar.
"Bentar deh, kok gue jadi gak ngerti sih."
"Lo bisa baca gak sih? Tuh dah jelas ditulis disitu Anying." Faisal mengarahkan jari telunjuknya pada kertas yang Akbar pegang.
"Iya, gue juga tau. Tapi masalahnya kenapa tiba-tiba tu guru berubah pikiran?"
"Ish, nanti aja lo tanya sendiri sama pak Rahmat. Sana gih lo cepetan ganti baju! Bentar lagi telat ni."
"Gue udah hampir satu bulan kaga masuk sal, masak iya gue asal masuk aja. Lagian nanti kan gue berangkat kerja."
"Ck, Lo kan bisa kerja abis pulang sekolah. Cepetan, gue tungguin di luar." Faisal mendorong nahu Akbar hingga ia hampir terjatuh.
-------
Akbar berhenti tatkala berada di depan sekolahnya. Mengamati pintu gerbang yang bertuliskan "SMA Bhayangkara." tersebut. Ia bingung antara sedih atau senang. Sedih, karena ia akan kembali berurusan dengan buku dan pelajaran, atau senang karena ia masih diberi kesempatan.
Terlihat pak Rahmat yang tengah menghukum beberapa siswa yang melanggar. Setiap pagi, beliau memang bertugas untuk mengecek kelengkapan seragam di depan gerbang sekolah. Tangan kirinya memegang sebuah tongkat. Bibirnya tak henti untuk mengomeli para berandalan sekolah. Senyumannya tersungging, sepertinya ia juga rindu dengan omelan guru matematika tersebut.
Pak Rahmat sepertinya menyadari keberadaanya. Beliau langsung membubarkan barisan yang tengah melakukan hukuman push up tersebut.
Akbar langsung menunduk ketika pak Rahmat menghampirinya. Bingung, ia tak memiliki kata-kata untuk ia ucapkan saat ini. Berbeda dengan Akbar, Faisal justru menyapa pak Rahmat dengan ramah lalu mencium punggung tangan beliau.
"Faisal, kamu bisa ke kelas sekarang. Sedangkan Akbar, mari ikut bapak."
------
"Gimana kabar kamu Akbar?"
"Baik Pak," jawab Akbar singkat. Ia dan pak Rahmat sedang berada di ruang BK sekarang. Sejak tadi, Akbar tidak berani menatap gurunya tersebut. Padahal tidak ada tanda-tanda bahwa Pak Rahmat akan marah, atau kecewa seperti biasanya ketika ia dipanggil.
"Kalo Andin gimana?" Kali ini Akbar mendongak. Kok pak Rahmat tau? Ah, Faisal pasti.
"Alhamdulillah pak, dia udah bisa sekolah sekarang." Mendengar jawaban Akbar, pak Rahmat hanya mengangguk-anggukan kepalanya.
"Begini Akbar, kamu pasti berpikir bahwa kamu telah dikeluarkan dari sekolah. Akan tetapi, saya berubah pikiran dan menarik keputusan tersebut."
"Tapi pak, apa alasan bapak berbuat demikian?" Pak Rahmat menghela napas.
"Bapak minta maaf sama kamu." Akbar semakin dibuat bingung dengan permintaan maaf pak Rahmat.
"Bapak merasa gagal menjadi guru kalian. Bapak selalu berpikir negatif karena sikap kamu, dan berpikir bahwa kamu hanyalah murid nakal yang mencoba untuk mencari perhatian guru. Bapak tidak tau kalau ternyata selama ini kamu harus bekerja, kamu punya adik yang sedang sakit, bahkan bapak tidak tau jika kamu sudah tidak memiliki ayah."
"Pak, saya tidak butuh rasa kasian dari bapak." Elak Akbar. Ia justru merasa direndahkan dengan perkataan pak Rahmat.
"Saya bukan kasihan sama kamu. Tapi bapak disini justru bangga punya murid seperti kamu. Kamu selalu menomorsatukan keluarga dibandingkan dengan yang lain. Kamu rela mengorbankan sekolah demi keluarga, bahkan waktu bapak seuisa kamu, bapak tidak pernah berpikir demikian."
"Saya sudah berdiskusi dengan guru-guru yang lain agar kamu bisa kembali ke sekolah ini."
"Dan satu lagi, kamu bisa mendapatkan beasiswa dari sekolah, sampai lulus." Kalimat terakhir pak Rahmat sukses membuat Akbar melongo.
"Serius pak?" Pak Rahmat hanya mengangguk.
"Tapi dengan satu syarat." Pak Rahmat lantas mengambil sebuah kertas lalu diberikannya pada Akbar.
Olimpiade matematika tingkat SMA se-kabupaten Bandung?
---------
Jam menunjukkan pukul 22:30. Sebagian orang mungkin sudah terlelap dalam mimpi masing-masing. Namun tidak untuk Akbar. Meja kecil yang ada di teras rumahnya disulap menjadi meja belajar. Tumpukan buku bertemakan aljabar, logaritma, linear, dan beberapa buku lain mememani malamnya. Tangannya dengan lihai menuliskan berbagai rumus dan angka pada kertas. Bibirnya komat-kamit seolah mengucapkan sebuah mantra. Sesekali ia menggigit pensilnya untuk membantunya berpikir.
Ia melirik Faisal yang telah tertidur di lantai, dengan sebuah buku yang menutupi wajahnya. Faisal lah yang membujuknya untuk ikut Olimpiade.
"Bayangin, lo kaga bayar SPP selama satu tahun. Kita juga bisa tunjukin bahwa SMA Bhayangkara itu bisa ngalahin SMA 1. Ini kesempatan bro."
Namun ini tidak semudah yang Faisal katakan. Apalagi ia telah cuti dari sekolah hampir satu bulan. Banyak pelajaran yang tertinggal. Akbar memang pernah memenangkan olimpiade matematika pada bangku SMP, tiga tahun lalu. Itupun karena desakan para guru di sekolahnya.
"Sal, bangun gih. Lo pindah ke kamar gue sana." Akbar menyenggol kaki Faisal yang terlentang. Namun Faisal hanya mengubah posisi tidurnya.
"Ck, ni anak." Akbar berdecak sebal. Membangunkan Faisal memang butuh tenaga ekstra.
Seketika, ia teringat obrolannya dengan Hilda 2 hari lalu. Hilda mengatakan bahwa Aca telah pindah ke Semarang. Ini membuatnya semakin diliputi rasa bersalah. Ia bahkan belum sempat untuk meminta maaf pada orang tua Aca. Akbar memang masih memiliki kontak milik Aca, namun ia takut untuk menghubungi gadis tersebut.
-------

KAMU SEDANG MEMBACA
Teka Teki Takdir
SpiritualJalannya takdir memang tak pernah bisa ditebak. Karena ia adalah rahasia yang tak tampak. Kita tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi di masa depan atau bahkan satu detik dari sekarang. Kedatangannya seolah menjadi misteri yang tak terduga. Ki...