Mobil berwarna abu-abu itu pun berhenti ketika sampai di salah satu rumah kosong. Dengan pistol yang ada di tangannya, seorang polisi turun dari mobil dan berjalan mengendap-endap untuk memastikan keadaan aman.
Setelah mendapatkan sinyal, tiga temannya langsung turun mengikuti perintah.
Faisal, Fanny dan Hilda hanya bisa melihat dari kaca mobil yang transparan. Mereka hanya bisa berdo'a agar Akbar dan Aca baik-baik saja.Mereka memang diperintahkan untuk tidak turun sebelum ada intruksi.
------
"Jangan bergerak. Atau peluru ini akan terlepas." Seketika tangannya berhenti untuk melayangkan sebuah pukulan.
"Affandy Aldarich, Tak disangka bahwa buronan narkoba nasional masih anak ingusan."
Akbar sudah babak belur. Ia tidak bisa bergerak sekarang. Tubuhnya terlalu berat untuk bangkit. Kondisinya menyedihkan. Darah segar mengucur dari pelipisnya akibat sebuah pukulan. Wajahnya pun dipenuhi luka lebam. Lengan kemeja bagian kanannya sobek. Daritadi ia memang membiarkan Faisal menghajarnya dan tidak melakukan perlawanan.
Dengan seringainya, Fandy mengeluarkan pistol dari saku celana. Ia tertawa berbahak-bahak sambil menodongkan pistol nya pada empat polisi yang berada di sekelilingnya.
"Kalian pikir gue takut ha? Gue juga punya. Kalian terlalu ngeremehin gue."
Fandy sudah tidak waras sekarang.
"Gue bakal tembak cewek itu dan dia sebelum kalian tembak gue."
"Arghh." Akbar mengerang kesakitan. Dadanya diinjak oleh Fandy.
Akbar menyadari Fandy yang sedikit lengah. Tangannya berusaha meraih sebatang kayu yang berada tidak jauh darinya. Dengan tenaganya yang masih tersisa, Kayu tersebut ia pukulkan pada kaki Fandy yang berada di atas dadanya. Hal ini membuat Fandy kehilangan kendali dan langsung tersungkur. Akbar langsung mengambil pistol yang terlepas dari tangan Fandy.
"Anjing lo." Teriak Fandy sembari memegangi kakinya yang sakit.
Fandy tidak bisa bergerak tatkala dua polisi mengepungnya. Kedua lengannya langsung diapit. Pergelangannya dipasang borgol.
Sedangkan Leo, ia telah berhasil kabur tatkala mobil polisi datang.
Akbar mencoba untuk berdiri walaupun tubuhnya dipenuhi oleh luka. Ia harus melepaskan Aca yang masih diikat. Akan tetapi kali ini ia benar-benar tidak mampu. Tubuhnya ambruk ke belakang, namun ia merasakan sebuah tangan yang menangkapnya.
"Tenang bar, semua udah selesai." Suara itu, ya Faisal menyangga tubuhnya sebelum ia jatuh.
"Hh, sal, tolong lepasin Aca."
------
Akbar mengerjapkan matanya lalu berusaha untuk duduk. Sebuah selang infus dipasang pada lengan bagian kirinya. Kepalanya telah terbalut dengan perban. Pakaiannya pun telah berbeda dari yang ia pakai kemarin. Faisal yang menyadari pergerakan Akbar pun langsung mendekat untuk membantu.
"Lo jangan banyak gerak dulu kali." Faisal langsung meletakan bantal dibalik punggung Akbar untuk bersandar.
"Sal, Aca mana?" Raut wajah Faisal langsung berubah.
"Keadaan lo aja masih kaya gini malah tanya orang lain."
"Gue serius sal, dimana dia?" Sontak Akbar berusaha untuk turun. Namun kembali, ia merasakan sakit.
"Dibilangin juga. Aca di kamar sebelah. Hilda sama Fanny yang nemenin."
"Apa lo bilang? Fanny? Ngapain dia kesini?" Faisal menatap wajah Akbar datar.
"Lo tu harus berterimakasih sama dia. Dia yang udah ngasitau polisi kalo lo dalam bahaya." Mereka berdua terdiam cukup lama.
"Sal, maafin gue. Gue ngerepotin lo lagi."
Jika saat ini Akbar tidak terluka mungkin Faisal sudah menghajarnya. Faisal mengangkat tangan kirinya seolah ingin memukul Akbar. Namun hal ini ia urungkan. Ia marah, marah karena Akbar lebih percaya Fandy dibandingkan dirinya. Padahal Faisal berulang kali mengatakan bahwa ia akan selalu siap menolong Akbar dalam kondisi apapun.
"Kalo lo lagi gak bonyok, gue hajar lo disini. Lagian sih, lo kan tau sendiri sifat Fandy tu kaya gimana?"
"Ya, waktu itu gue gak punya pilihan. Tapi dari kejadian kemaren, gue tau satu hal."
"Bukan Fandy yang bunuh Diandra."
Akbar menjelaskan kronologi kejadian yang ia alami. Faisal pun sempat tidak percaya dengan cerita yang disampaikan temannya ini. Namun semua hal yang tidak kau sangka bisa jadi terjadi di dunia ini.
Sebenarnya, Akbar pun merasa iba pada Fandy. Bagaimana tidak, ia dituduh atas kejadian yang sama sekali tidak ia lakukan. Akan tetapi, rasa dendam mampu merubah seseorang.
--------
Tubuhnya sudah cukup membaik. Dokter mengatakan bahwa Akbar sudah bisa pulang saat ini. Akbar mengamati gerak-gerik Faisal yang tengah menyiapkan barang-barang yang akan dibawa.
"Udah kan cuma ini doang?"
"Hm."
Faisal lantas membantu Akbar untuk turun dari ranjang.
Sepertinya, ia harus bersyukur memiliki sahabat seperti Faisal. Walaupun terkadang sifat cerewetnya membuat Akbar jengkel. Namun Faisal selalu ada di saat ia membutuhkan. Sejak ia dirawat, Faisal lah yang setia melayani kebutuhannya. Mulai dari menyuapinya ketika makan, menyiapkan obat, membantunya untuk pergi ke kamar mandi. Hal-hal tersebut tidak bisa Akbar lakukan sendirian. Faisal mengatakan bahwa ibunya dan Andin sudah pulang dan semua biaya rumah sakit telah lunas. Namun ketika Akbar menanyakan siapa? Faisal tidak menjawab. Hal ini membuat Akbar penasaran.
Sedangkan Aca? Entahlah, Akbar tidak berani untuk menanyakan hal tersebut lagi. Semenjak Aca mengenal dirinya, ia selalu membawa gadis tersebut ke dalam masalah. Ia bahkan tidak tau, apa yang akan ia katakan katika bertemu nanti. Orang tua Aca dan kakaknya pasti membenci dirinya saat ini.
"Lo udah mahir ya, nyetir mobilnya." canda Akbar.
"Asal lo tau ya, Ini pertama kali gue nyetir dalam keadaan tenang." Akbar pun terkekeh mendengar jawaban Faisal. Mengingat ia memang selalu menyetir dalam keadaan yang tidak tepat.
Saat ia turun dari mobil, Akbar langsung disambut oleh pelukan Andin. Gadis kecil itu tampak bahagia atas kedatangannya.
"Abang abis jatoh ya, Lagian sih gak ati-ati."
"Iya nih. Liat pala abang, sakit tau din." Akbar jongkok untuk mensejajarkan tingginya dengan Andin. Ia menunjukkan perban yang terlilit di bagian kepalanya.
"Gak papa kok, kan abang kuat." Ucap Andin sembari mengelus rambut milik kakaknya.
Sementara Ratih, ia berdiri di teras sambil menatap Akbar nanar. Air matanya turun seketika tatkala melihat kondisi anaknya. Akbar membalas tatapan ibunya dengan senyuman, seolah mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.
--------
![](https://img.wattpad.com/cover/99669491-288-k579547.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Teka Teki Takdir
SpiritualJalannya takdir memang tak pernah bisa ditebak. Karena ia adalah rahasia yang tak tampak. Kita tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi di masa depan atau bahkan satu detik dari sekarang. Kedatangannya seolah menjadi misteri yang tak terduga. Ki...