Malam adalah waktu yang tepat untuk beristirahat. Suasananya yang sepi dan sunyi membuat setiap jiwa bisa terlelap dalam bunga tidur mereka masing-masing. Hanya ada suara jangkrik dan beberapa hewan malam yang masih terjaga.
Begitupun Akbar. Rasa lelahnya akibat bekerja dan sekolah seolah hilang tatkala ia merebahkan dirinya pada kasur. Kamarnya memang tidak begitu luas. Terdapat sebuah meja belajar di sebelah pintu kamar.
"Akbar bangun." Ratih menepuk-nepuk punggung Akbar. Akbar hanya bergeming lalu mengubah posisi tidurnya. Matanya seolah menolak untuk terbuka.
"Akbar bangun cepetan." Ratih kembali membangunkan anaknya. Akbar yang merasa tidak nyaman pun duduk dengan mata yang setengah terpejam. Kedua bila matanya mengarah pada jam dinding yang ada si kamarnya.
"Ada ala sih bu? Ini masih jam satu lo. Akbar ngantuk banget." Sambil mendekap guling ya, Akbar kembali menjatuhkan tubuhnya pada kasur.
"Andin sakit Akbar, asma nya kambuh lagi." Reflek kedua matanya langsung terbuka. Akbar langsung menyibakkan selimutnya dan menuju kamar milik adiknya.
Sejak kecil, Andin memang sudah mengalami gangguan pernapasan. Ia sudah sering keluar masuk rumah sakit. Oleh karena itu, Andin harus menjalani pengobatan secara rutin. Namun beberapa bulan ini Andin tidak menjalani check up. lagi-lagi, biaya adalah kendala utama bagi Akbar.
Akbar mendekati ranjang milik Andin. Adiknya tengah menggigil kedinginan. Hal ini justru berbanding terbalik dengan suhu kota Bandung yang tergolong panas. Keringatnya terus menetes. Pola napasnya tidak teratur, wajahnya pucat. Ketika Andin sakit, Akbar lah yang paling dilanda khawatir. Tangannya bergerak menyentuh dahi yang telah basah oleh keringat tersebut. Suhu tubuh Andin sangat tinggi.
Akbar langsung beranjak dan meninggalkan rumah.
------
"Gue yakin kalo abis ini bokap gue marah kalo tau gue nyetir."
Akbar memijat pelipisnya. Mereka berempat tengah berada di dalam mobil menyusuri jalanan yang sepi. Beberapa lampu jalan bahkan tidak menyala. Akbar langsung meminta bantuan Faisal untuk mengantarnya ke rumah sakit. Ia tahu, sebuah resiko besar jika Faisal mengemudi mobil. Mengingat Faisal masih terlalu muda dan belum memiliki SIM. Faisal juga mengatakan bahwa ini adalah pertama kalinya ia mengemudi menggunakan mobil ayahnya. Suasana malam yang gelap, membuat Faisal harus berhati-hati dalam menjalankan kemudi mobil. Akbar melirik ke belakang. Dalam dekapan ibunya, Andin masih menggigil. Sungguh, ia tak ingin kejadian ayahnya terulang kembali.
Akbar mengamati selang infus yang menempel pada pergelangan tangan Andin. Alat bantu pernapasan pun dipasang pada hidung mungil nya. Andin cukup tenang dibandingkan tadi. Andin tengah tertidur pulas.
Akbar duduk di lobby rumah sakit. Kedua tangannya ia gunakan untuk menyangga dagu. Suasana rumah sakit pun tergolong sepi. Hanya terlihat beberapa penjaga yang tengah berpatroli. Matanya terpejam, namun ia tidak bisa tidur. Mulai sekarang ia harus memikirkan bagaimana ia bisa mendapatkan uang dengan cepat. Gajinya bulan kemarin sudah habis untuk pembayaran sekolah.
Faisal menghampiri sahabatnya. Ia mendesah pelan. Ia yakin bahwa dirinya tak akan sanggup jika berada di posisi Akbar. Sifat dewasa yang Akbar miliki selalu membuatnya kagum. Ia selalu mandiri dalam berbagai hal. Berbeda dengan Faisal, sampai saat ini, ia masih bergantung pada kedua orang tuanya. Akbar selalu mendahulukan ibu dan Adiknya dibandingkan dirinya sendiri. "
"Mm, bar. Kalo lo mikirin tentang biaya rumah sakit, gue bisa bilang bokap gue buat bantu lo." Faisal mengatakannya dengan hati-hati. Akbar adalah tipe orang yang tidak mudah tergiur dengan bantuan. Ia akan melakukannya sendiri jika masih mampu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Teka Teki Takdir
EspiritualJalannya takdir memang tak pernah bisa ditebak. Karena ia adalah rahasia yang tak tampak. Kita tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi di masa depan atau bahkan satu detik dari sekarang. Kedatangannya seolah menjadi misteri yang tak terduga. Ki...