Akbar mengusap peluh keringat yang menetes dari dahinya. Akhir pekan membuat pengunjung cafe meningkat dua kali lipat dari hari-hari biasa. Kadang ia tertawa, di saat teman-temannya menikmati waktu luang, melepaskan penat akibat satu minggu sekolah. Ia justru di sibuk kan dengan pekerjaan.
Perihal pekerjaan, ibunya telah mengetahui. Beberapa waktu lalu Akbar terpaksa harus lembur karena salah satu rekan kerjanya yang sakit. Akbar minta tolong pada Faisal agar mengatakan pada ibunya bahwa ia tengah ada tugas sekolah yang sangat penting. Namun kebohongan tidaklah berlangsung terus menerus. Faisal keceplosan ketika Ibu Akbar bertanya.
Ibunya marah ketika tahu Akbar bekerja. Ibunya melarang keras dan menyuruhnya agar berhenti dan fokus dengan belajar. Namun Akbar berusaha meyakinkan pada ibunya agar tidak perlu khawatir akan apa yang ia lakukan. Terbukti, dengan hasil jerih payahnya ia bisa membayar biaya sekolah sendiri. Uang yang diberikan ibunya ia tabung agar bisa bermanfaat di lain hari. Walaupun sebenarnya ia sangat menyayangkan uang pekerjaannya untuk sekolah. Mengingat sebenarnya tujuan pekerjaan ini awalnya adalah untuk pengalihan agar ia tidak bersekolah.
"Kasian banget sih anak muda kaga bisa weekend-an." tegur Raka. Akbar hanya tersenyum.
"Itu, lo dipanggil sama bos di ruangan. Sini gue gantiin." Raka langsung menggeser posisi Akbar.
"Thanks ya. Gue kesana dulu." Akbar beranjak lalu pergi. Sesekali ia merapikan penampilannya yang agak kusut.
"Cih, kaya mau ketemu sama calon mertua aja."
Langkahnya terhenti dengan seorang gadis yang ada di depannya. Ia sudah menduga, bahwa setelah pertemuannya dengan Fandy beberapa hari yang lalu, ia akan bertemu dengan Fanny. Akbar mendengus. Beruntung koridor yang ia lewati sepi. Jika tidak, maka seluruh karyawan cafe akan bertanya terkait hubungannya dengan Fanny.
"Mana bokap lo? Katanya gue dipanggil?" tanya Akbar langsung pada intinya. Ia tidak memiliki urusan dengan Fanny saat ini.
"Bokap gue gak ada. Gue yang nyuruh Raka buat manggil lo. Akbar, kita perlu ngomong. Ikut gue." Fanny membalikkan badannya lalu berjalan. Akbar terpaksa mengikutinya.
Menurut Akbar, Fanny terlihat sedikit kurus. Gaun casual biru muda selutut tampak cocok dengan tubuhnya. Rambutnya ia biarkan tergerai begitu saja. Poni yang telah panjang ia seliDan kan pada telinga bagian kiri. Wajahnya ia poles dengan make up tipis. Akbar akui, Fanny memang cantik.
Angin yang berhembus, membuat rambut Fanny tersibak. Akbar langsung mengalihkan pandangannya ketika tengkuk Fanny terlihat jelas. Mereka berdua tengah berada di balkon belakang lantai dua. Cafe ini memiliki dua lantai. Dapur, pantry, dan ruang utama. Sedangkan lantai dua adalah kantor dan gudang. Akbar menyandarkan punggungnya pada tembok. Fanny berbalik menatap Akbar.
"Kenapa lo gak ngomong kalo lo kerja di cafe bokap gue?"
"Gak ada urusan kan sama lo." jawab Akbar tanpa memandang Fanny. Fanny menghela napas kasar. Akbar benar-benar berubah setelah apa yang terjadi dulu.
"Lo gak harus kerja. Gue bisa kok bantuin lo."
"Gue gak butuh belas kasihan dari lo."
Fanny mendengus. Ia harus cukup sabar demi Akbar.
"Akbar, berapa kali gue harus minta maaf sama lo. Gue gak mau kita terus-terusan kaya gini."
"Gue udah maafin lo dari dulu. Lagian gue gak diemin lo kan? lo tanya gue jawab."
"Akbar, aku pernah tanya waktu itu tentang perasaan kamu ke aku. Tapi kamu diem. Itu bikin aku yakin kalo kamu masih suka sama aku. Salah? Kalo aku ngarep kita balikan?" Terlihat sudut mata Fanny yang mengeluarkan air mata.

KAMU SEDANG MEMBACA
Teka Teki Takdir
SpiritualJalannya takdir memang tak pernah bisa ditebak. Karena ia adalah rahasia yang tak tampak. Kita tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi di masa depan atau bahkan satu detik dari sekarang. Kedatangannya seolah menjadi misteri yang tak terduga. Ki...